2 BERMANFAAT INSYA ALLAH

q.salafy.blospot.com

Rington dengan ayat-ayat Al-Qur'an

”ASemakin maraknya penggunaan telepon selular (Handphone) dikalangan manusia, menyebabkan terjadinya banyak penyalahgunaan yang menyelisihi syariat pada saat menggunakannya. Diantaranya adalah menggunakan ringtone (nada sambung) dengan lantunan musik, lagu, dan yang semisalnya.

Haramnya Musik:

Allah Ta’ala berfirman: وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna sehingga dia menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan.” (QS. Luqman: 6).

Berbahagialah Wahai Ahlus Sunnah

Sabda Rasulullah: “Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari di mana orang yang sabar ketika itu seperti memegang bara api.

Cinta Sejati

Makna ‘Cinta Sejati’ terus dicari dan digali. Manusia dari zaman ke zaman seakan tidak pernah bosan membicarakannya. Sebenarnya? apa itu ‘cinta Sejati’ dan bagaimana pandangan Islam terhadapnya?

Hukum Qunut Witir

Shalat witir disyariatkan dalam shalat malam. Disyariatkan juga untuk melakukan qunut yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Qunut Shubuh

Salah satu masalah kontraversial di tengah masyarakat adalah qunut Shubuh. Sebagian menganggapnya sebagai amalan sunnah, sebagian lain menganggapnya pekerjaan bid'ah.

Senin, 13 Februari 2012

Jika Hajr Terjadi ? (2)

JIKA HAJR TERJADI?

Oleh
Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar Ruhaili –hafizhahullah-


Pembaca yang budiman,
Hajr, secara bahasa artinya meninggalkan. Adapun yang dimaksudkan hajr disini adalah meninggalkan orang yang menyelisihi kebenaran, yaitu ahli bid’ah atau pelaku maksiat, dengan tidak menjalin komunikasi dengannya, tidak duduk bersamanya, dan sikap-sikap lainnya sebagaimana akan dijelaskan oleh Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar Ruhaili –hafizhahullah.

Dalam pembahasan ini, Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar Ruhaili –hafizhahullah- memberikan penjelasan tentang hajr, berkaitan dengan syari’atnya dan kaidah penerapannya. Secara panjang, penjelasan ini juga disertai dengan contoh nyata, sehingga mempermudah kita dalam memahami maksud disyari’atkannya hajr. Mengapa dan bagaimana hajr harus diberlakukan?

Kami persilahkan para pembaca menyimak nasihat Syaikh, yang kami angkat berdasarkan ceramah beliau pada Daurah Aqidah dan Manhaj, diadakan oleh Ma’had ‘Ali al Irsyad as Salafi Surabaya, di Agrowisata Perkebunan Teh, Wonosari, Lawang, Malang, Jawa Timur, 20-24 Jumadits Tsaniyah 1427H, bertepatan 16-20 Juli 2006. Naskah ini diterjemahkan Abu Isma’il Muslim al Atsari, dengan memberi judul, sub judul dan beberapa catatan kaki yang dianggap perlu. (Redaksi)
_______________________________________

Subhanallah. Di suatu negara, di Eropa, mungkin yang menjalankan Sunnah (cuma) 50 pemuda, lalu mereka bersepakat menghajr Fulan. Mereka membiarkannya untuk disergap orang-orang jahat dan orang-orang rusak, gara-gara dia berbuat kesalahan, dan karena hajr disyari’atkan; dan karena Fulan telah memfatwakan untuk menghajrnya. Akibatnya, orang itu murtad. Siapakah yang telah menyesatkannya dari agama? Apa yang lebih bermanfaat bagi pemuda tadi? (Apakah) dita’lif dan dinasihati, walaupun dia mati dengan kesalahannya? Ataukah dia disesatkan dari agamanya sehingga murtad? Perkara ini jelas!

Adapun sekarang, ada orang yang menjauhkan manusia dari (dakwah) Salafiyah, disebabkan pemahaman orang-orang yang buruk tentang hajr.

Demi Allah, banyak orang telah datang kepada kami, dari dalam Saudi maupun dari luar negeri, mereka berkata : “Tidaklah kami melihat orang-orang yang lebih keras daripada orang-orang Salafi ini!”

Darimana (perkataan) ini datang? Apakah kita akan mengatakan, orang-orang itu tidak mengatakan al haq?

Kita ini Salafi. Kita mengikuti manhaj Salaf. Seharusnya kita menuduh masing-masing diri kita, (bahwa kitalah yang salah dalam memahami suatu masalah, Pent)! Demi Allah, sesungguhnya manhaj Salaf tidak membuat seseorang menjauh dari agama. Tetapi, pemahaman dan penerapan hukum yang buruk terhadap orang-orang yang menyimpang itulah yang menjadikan manusia menjauhi agama. Oleh karena itu, wajib diperhatikan kondisi orang yang dihajr, apakah dia akan mendapatkan manfaat ataukah tidak?

Kemudian, di antara kaidah yang disebutkan oleh ulama dalam masalah hajr, (yakni) memperhatikan waktu lamanya hajr.

Terkadang penyimpangan itu kecil. Jika engkau hajr dua hari, itu bermanfaat. Namun, jika engkau menghajrnya sebulan, kemungkinan akan merusaknya. Perhatikanlah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang Ka’ab bin Malik dan dua kawannya:

حَتَّىٰ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ

(hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi meraka, padahal bumi itu luas -at Taubah/9 ayat 118-), yakni, apakah sekarang yang dia gambarkan?
Ini berkaitan dengan tekanan psikis, sebagaimana disebutkan oleh Rabbul ‘alamin yang mengetahui jiwa mereka, bahwa bumi telah menjadi sempit bagi meraka, padahal bumi itu luas. Seandainya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghajr mereka lagi 50 hari setelah itu, setelah 50 hari, apakah yang akan terjadi? Bisa jadi mereka akan putus asa.

Demikianlah di antara hikmah Allah Subhanahu wa Ta'ala bahwa hajr itu sesuai dengan penyimpangannya. Imam Ibnul Qayyim menyatakan: “Hajr itu seperti obat. Jika kelebihan, akan mematikan. Jika kurang, tidak akan bermanfaat”.

Ini merupakan ungkapan yang sangat bagus, mengapa kita tidak mencermatinya? Terkadang terdapat sedikit penyimpangan pada seseorang, muncul penyimpangan darinya, lalu engkau berpaling darinya selama dua hari atau tiga hari, itu bermanfaat. Dia akan menyesal, (kemudian) mendatangimu, dan mengatakan: “Maafkan aku!”

Engkau berpaling darinya. Lalu dia datang yang kedua kalinya, dia mengatakan: “Maafkan aku, aku menyesal, aku keliru!”, (maka) selesailah, (engkau menerimanya dan hajr berhenti, Pent).

Tetapi jika dia datang dua kali, engkau berpaling darinya, maka dia akan berpaling dan tidak akan kembali kepadamu. Dengan demikian, hajr haruslah proporsional sesuai dengan tingkat pelanggaran. Jika kita melakukannya, haruslah sesuai dengan penyimpangan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghajr para istri beliau sebulan, menghajr Ka’ab bin Malik 50 hari, beliau berpaling dari sebagian sahabat, sehingga ketika sebagian mereka berhenti dari penyimpangan, beliau menyambutnya, seperti pemakai cincin (emas) dan lainnya. Oleh karena itu, harus diperhatikan kaidah ini dalam menyikapi orang yang menyimpang. Yaitu, bahwa hajr yang disyari’atkan untuk mashlahat orang yang menyimpang, adalah bertujuan memperbaikinya, bukan untuk merusaknya.

Hajr bukanlah hukuman. Sebagian orang sekarang menyangka hajr merupakan hukuman. Katanya ‘semua ahli bid’ah harus dihajr. Karena Ahlus Sunnah mengatakan: “Hajrlah ahli bid’ah”, “Ahli bid’ah itu dihajr”.

Tetapi, ungkapan ini bertentangan dengan perkataan lainnya. Yaitu ahli bid’ah terkadang dinasihati, ahli bid’ah terkadang dipergauli, ahli bid’ah terkadang dibantah. Seharusnya kita mengambil aqidah Ahli Sunnah secara menyeluruh. Kita tidak boleh mengambil beberapa bagian perkataan saja. Kita tidak boleh mengambil beberapa bagian contoh saja. Kita tidak boleh mengambil sebagian perkataan ulama, lalu meninggalkan perkataan yang lain. Inilah perkara yang seharusnya diperhatikan.

Jika seorang thalibul ‘ilmi bersungguh-sungguh dalam menekuni kaidah-kaidah ini, demi Allah, akan menghasilkan kebaikan yang banyak. Kita akan memahami bahwa sebagian orang, termasuk mashlahat (baginya) adalah dilakukan ta’lif kepadanya.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Para tokoh, orang-orang yang ditaati di kalangan kaumnya, orang yang memiliki keutamaan, mereka ini tidak pantas dihajr. Umumnya, mereka itu memiliki kekuatan dan kekuasaan”.

Kekuatan itu bermacam-macam. Ada kekuatan ilmu. Terkadang ada seseorang, walaupun dia ahli bid’ah, tetapi dia memiliki kekuatan ilmu dan kedudukan di kalangan manusia, pengikutnya jutaan. Jika engkau menghajrnya, maka hajr itu tidak mempengaruhinya.

Di antara manusia ada yang memiliki kekuatan harta. Orang-orang tunduk kepadanya karena hartanya, walaupun dia merupakan orang yang paling jahat sekalipun. Sehingga hajr tidak bermanfaat baginya, kecuali jika dia memiliki agama, dia memperdulikan agama ini, maka pada keadaan seperti itu, kemungkinan hajr bermanfaat baginya.

Di antara orang, ada yang memiliki kekuatan di tengah kaumnya. Seperti ketua suku dan wali kota. Oleh karena itulah, di antara hikmah dalam mendakwahi para penguasa adalah dengan sabar dan lemah-lembut, bukan dengan kekerasan.

Maka, perhatikan orang-orang yang menyelisihi itu. Terapkan pada mereka wasilah (sarana) yang kita harapkan, kita yakini, dan kita beragama karena Allah dengan itu. Bahwa itu sesuatu yang paling baik dalam hidayah orang tersebut. Jika dia mengikuti petunjuk, al-hamdulillah. Jika dia tidak mengikuti petunjuk, kewajiban sudah gugur (yakni sudah dilaksanakan, Pent).

Adapun sekarang, sebagian orang menyangka, jika kita telah menasihati Fulan, dan dia tidak kembali (kepada al haq), maka dia mengatakan: “Kami telah menasihatinya, tetapi dia tidak kembali (ke jalan yang benar). Apakah Anda berpendapat kita menghajrnya?”

Sebagian orang berpendapat: “Ya, kita menghajrnya”.

Kami (Syaikh, Red) katakan: “Perhatikan orang itu. Bisa jadi dia tidak pantas dihajr sampai dia meninggal. Dan yang lebih bermanfaat dalam mendakwahinya adalah menta’lifnya sampai dia mati, bukan hajr”.

Saya ingat pada suatu majlis yang dihadiri para ulama, thalibul ‘ilmi, dan masyayikh kibar (para ulama besar). Ada seseorang berbicara tentang Fulan, dan dia mengatakan: “Dia pantas dihajr”.
Saya katakan: “Orang semisal ini tidak perlu dihajr, tetapi dinasihati”.
Dia bertanya: “Sampai kapan?”
Saya jawab: “Sampai Allah kehendaki, bisa sampai 20 tahun”.

Banyak orang di majlis itu tertawa. Salah seorang berkata : “Maksudnya, kita menempuh ini sampai 20 tahun?”

Lantas, saya bertanya kepada salah seorang masyayikh : “Wahai, Syaikh Fulan, aku ingin bertanya kepadamu dengan nama Allah. Apakah engkau mengetahui di antara petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dalam keadaan beliau menta’lif sebagian orang? Atau beliau menta’lif seseorang lalu menghajrnya?”
Beliau (masyayikh itu) menjawab: “Ya, disertai nasihat”.

Saya katakan: “Inilah, yang aku pegangi sebagai ajaran agama di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala l .”

Sebagian orang tidak pantas dihajr, tetapi yang pantas adalah dita’lif, sampai Allah Subhanahu wa Ta'ala memberinya petunjuk, atau sampai hujjah tegak padanya. Inilah sikap yang kami pandang lebih bermanfaat baginya.

Selain itu, dengan memperhatikan kaidah pertama (dalam hajr), sebagian orang terkadang mempunyai pengaruh. Sementara ada orang lain yang tidak berpengaruh. Di sini, terdapat satu permasalahan : terkadang, untuk menyikapi si Fulan yang menyimpang, disyari’atkan bagi sebagian orang untuk menghajrnya. Seperti ulama, imam yang memiliki kedudukan, disyari’atkan baginya untuk menghajr Fulan. Tetapi bagi saya, tidak disyari’atkan untuk menghajrnya. Kenapa? Karena dia memiliki pengaruh, sedangkan saya tidak mempunyai pengaruh.

(Sebagai penjelasnya), tidaklah setiap orang yang saya fatwakan kepada salah seorang thalibul ‘ilmi untuk menghajrnya, disyari’atkan bagi orang lain untuk menghajrnya. Justru terkadang disyari’atkan buat orang lain untuk menta’lifnya. Orang ini menghajr, orang itu menta’lif, semuanya mengajak menuju Sunnah.

Orang ini menghajrnya, orang itu menta’lifnya. Akan tetapi, jika kita bersatu di atas al haq, tidak mungkin orang yang menta’lifnya mengatakan: “Tinggalkan orang yang membuat jauh (dari agama ini, Pent). Orang yang menghajrmu adalah orang yang keras”. Dan tidak mungkin orang yang menghajr datang dan mengatakan: “Tinggalkan orang yang mumayyi’ (mengikuti arus) dan mudhayyi’ (menyia-nyiakan kewajiban) itu!” Jika semua bertaqwa kepada Allah, maka orang yang menta’lif itu akan mengatakan: “Fulan tidak menghajrmu kecuali karena penyimpanganmu. Dia telah bertindak benar di dalam menghajrmu, karena engkau menyimpang. Dan inilah yang mesti ia lakukan. Sementara saya, tidaklah berhubungan denganmu serta bergaul bersamamu karena menyetujui kesalahanmu. Akan tetapi, untuk menta’lif hatimu”. Demikian juga orang yang menghajr akan mengatakan: “Janganlah engkau terpedaya dengan Fulan yang bergaul bersamamu, dengan menyangka dia sepakat denganmu. Tidak! Akan tetapi, dia sedang menta’lifmu”. Dengan demikian semuanya bertemu di atas al haq.

Adapun sekarang, jika saya menghajr Fulan, dan melihat sebagian orang menta’lifnya, maka saya katakan: “Mereka ini menipumu. Mereka ini mencari muka. Mereka ini membicarakan keburukan kawannya”. (Ini tidak benar). Terkadang orang yang menta’lif itu mengajaknya menuju Sunnah, mengajaknya menuju kebaikan. Maka, sepantasnya kita memperhatikan niat-niat orang. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan hajr terhadap sebagian orang yang menyimpang, dan beliau tidak memerintahkan orang lain menghajrnya. Bahkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: “Shalatkanlah (jenazah) kawan kamu!” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan hajr kepada sebagian mereka dan memerintahkan manusia menghajrnya, seperti beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (telah) menghajr Ka’ab bin Malik.

Oleh karena itulah, saya teringat, ada seseorang yang menyelisihi penjelasan ini -semoga Allah menunjukinya - . Masalah tersebut telah saya tetapkan dalam (kitabku), Mauqif Ahli Sunnah, bahwa sebagian orang disyari’atkan hajr terhadapnya, dan sebagian yang lain tidak disyari’atkan.

Dia mengatakan: “Ini menyelisihi metode yang dijalani Salaf. Yang mereka tempuh adalah menghajr ahli bid’ah”.

Aku katakan kepadanya: “Berikan kepadaku satu contoh saja, dari zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai hari ini, bahwa seorang ‘alim di antara ulama umat mengeluarkan fatwa yang memuat hajr kepada seseorang dan memerintahkan semua orang untuk menghajrnya” selain hajr Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Ka’ab bin Malik, karena beliau adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . Jika beliau memerintahkan, maka tidak ada pilihan kecuali umat harus mentaatinya. Demikian juga seorang imam (penguasa) umat Islam, jika penguasa muslim itu mengatakan: “Hajrlah si Fulan,” maka tidak ada pilihan bagi umat, kecuali harus mentaatinya. Oleh karena itu, tatkala ‘Umar memerintahkan untuk menghajr Shabigh bin ‘Asal, masyarakat pun menghajrnya.

Tetapi jika ada seorang ‘alim, mujtahid, dia memandang bahwa merupakan bentuk mashlahat, melakukan hajr Fulan, lalu ijtihadnya wajib atas umat, maka ini tidak (pernah) diucapkan oleh seorang pun, termasuk Imam Ahmad.

Beliau merupakan Imam Ahli Sunnah. Beliau menghajr sebagian orang. Dan sebagian ulama mengkritik beliau dalam masalah hajrnya terhadap sebagian orang yang menyimpang itu. Beliau pun tidak memaksa ulama lain untuk menghajr orang yang bersangkutan. Jika demikian, pendapat bahwa “apabila seseorang telah mengeluarkan fatwa untuk menghajr Fulan, maka wajib atas semua oranga untuk menghajrnya. Barangsiapa tidak menghajr, maka dia pun dihajr. Barangsiapa menyetujuinya, maka dia pun dihajr,” mengakibatnya, tidak tersisa seorang pun. Pada akhirnya, tidak tersisa seorang pun bagi kita.

Keterangan demikian ini, bila kita sandarkan bahwa barometer dalam masalah ini adalah penentuan mashlahat. Sebagai dampaknya, kita juga akan berbeda pandangan dalam menentukan mashlahat. Bisa jadi saya berpendapat Fulan tidak pantas dihajr, tetapi orang lain berpendapat Fulan pantas dihajr.

Perbedaan pandangan ini bukan pada inti permasalahan, bukan tentang Sunnah dan bid’ah, tetapi perselisihan hanya dalam menentukan mashlahat. Maka, sepantasnya kita memahami masalah ini, dan memahami tujuan-tujuan syari’at dalam menghajr orang-orang yang menyimpang. Demikian juga, ketika kita menetapkan masalah hajr dan menetapkan kaidah-kaidahnya. Kita sekarang juga tidak menyetujui orang yang menjadikan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai dalil :

لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ

(Tidak halal seorang muslim menghajr saudaranya lebih dari tiga hari). [HR Bukhari, Muslim, dan lainnya, Pent], lalu dia membatalkan masalah hajr ini.

Dengan mengatakan, semua yang menghajr umat Islam, maka dia bermaksiat, berdosa, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal seorang muslim menghajr saudaranya lebih dari tiga hari”. (Karena) hajr ini tentang apa? Tentang mashlahat dunia. Engkau boleh menghajr saudaramu muslim untuk mashlahat duniawimu kurang dari tiga hari. Adapun lebih tiga hari, maka engkau tidak boleh menghajr saudaramu. Sedangkan dalam mashlahat agama, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah bersabda, tidak halal seorang muslim menghajr saudaranya lebih dari tiga hari, beliau juga pernah menghajr Ka’ab bin Malik selama 50 hari. Maka sepantasnya kita mengambil nash ini, dan nash tersebut.

Kami -demi Allah- terkadang di majlis menetapkan masalah hajr kepada orang-orang yang mengatakan “tidak ada hajr”. Dan terkadang kami menetapkan masalah kaidah-kaidah hajr pada orang-orang yang mengatakan “hajrlah semua orang yang menyimpang”.

Mereka mensifati kami dengan kekerasan. Sementara pihak lain mengatakan: “Kamu ini mumayyi’ (orang yang mengikuti arus), Fulan mudhayyi’ (orang yang menyia-nyiakan kewajiban),” Namun, keridhaan manusia tidaklah penting bagi kami, karena kewajiban seorang muslim, thalibul ‘ilmi, ialah untuk bertaqwa kepada Allah, dan memperhatikan kaidah-kaidah ini. Apakah ini -perkataan yang kalian dengar ini- bersumber pada istihsan (anggapan baik semata, subyektifitas individu), ataukan bersumberkan dari dalil-dalil, bukti-bukti dari perkataan dan perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan keterangan-keterangan dari praktek Salaf?.

Jika ada orang yang menyimpang dengan argumentasi ilmu, (maka) orang semacam ini harus dijelaskan, tidak boleh dibantah dengan hawa nafsunya, bahwa Fulan mumayyi’, Fulan mudhayyi’. Kewajibannya ialah berbicara dengan (membawakan) dalil, seperti mengatakan: “Engkau keliru. Engkau mengatakan bahwa hajr untuk mashlahat mahjur, untuk mashlahat umat. Ini adalah perkataan batil, dalilnya demikian”. Kewajibannya berbicara dengan dalil, menetapkan al haq dengan dalil. Saya memiliki keterangan-keterangan dari perkataan para ulama dan saya mengambil faidah dari pemahaman Salaf. Inilah yang kami tetapkan.

Oleh karena itu, kewajiban thalibul ‘ilmi (yang) pertama kali, jika menjumpai perselisihan tentang menghajr seseorang atau tidak, maka hendaknya ia memperhatikan bahwa masalah ini memiliki perincian lebih lanjut dalam banyak hal. Karena, seseorang mesti memperhatikan (kapasitas) dirinya terlebih dahulu, apakah memiliki kemampuan menghajr ataukah tidak? Dan dia (juga) memperhatikan orang yang dihajr, apakah perlu berpendapat untuk menghajrnya atau tidak? Di sini ada banyak hal. Karenanya, engkau mendapatkan sebagian ulama terkadang berpendapat Fulan dihajr, (sedangkan) ulama lain berpendapat Fulan tidak dihajr. Padahal tidak ada perselisihan aqidah dan substansi masalah pada mereka (para ulama). Tetapi perselisihan yang terjadi pada para ulama, yaitu tentang mengukur mashlahat dalam menghajr Fulan atau tidak. Inilah perinciannya, dan inilah kaidah-kaidahnya berkaitan dengan masalah ini.

Di antara perkara yang paling berbahaya, sebagaimana yang telah saya sebutkan dalam masalah ini, bahwa telah datang fatwa-fatwa dari orang-orang yang tidak memahami kondisi orang-orang yang diberi fatwa. Mereka langsung memfatwakan: “Hajrlah dia!”, “Hajrlah Fulan, jangan bicara dengannya, jangan duduk bersamanya,” sedangkan mereka tidak mengetahui keadaan orang yang dihajr ini, keadaan orang yang menghajr, dan keadaan kota (negara)nya. Tidak ada aturan agama yang baru.

Sekarang Anda telah mengetahui kaidah-kaidah hajr. Hendaklah engkau merasa berada di bawah pengawasan Allah saat bergaul dengan orang, bersikap lunak atau menghajrnya. Jika kita menempatkan perkataan Fulan bagai kedudukan nash-nash (al Kitab dan as Sunnah), bahwa Fulan telah memfatwakan untuk menghajr si Fulan, barangsiapa yang tidak menghajr, maka dia bukan Salafi. Dia telah keluar dari Salafi karena menyelisihi pendapat salah seorang ulama di dalam menghajr Fulan. (Syaikh berkata): “Demi Allah, tidak ada seorang pun ‘alim yang wara’ (yang berhati-hati dengan meninggalkan perkara yang ditakutkan berbahaya di akhirat-pent) yang berpendapat untuk menghajr Fulan dan dia mengatakan “Hajrlah orang yang aku hajr, dan siapa yang tidak menghajr, maka dia keluar dari Sunnah!”

Saya ingin berbicara tentang tentang diri. (Terkadang) saya berpendapat tidak perlu berhubungan dengan Fulan dan duduk bersamanya. Sedangkan sebagian ikhwan duduk bersamanya dan menasihatinya. Demi Allah, saya tidak mencelanya, dan tidak menghalalkan (anggapan buruk itu). Bahkan, dalam hati saya tidak pernah terbetik, atau terpikirkan bahwa Fulan mudhayyi’ mumayyi’. Ketika sebagian ikhwan berhubungan dengan Fulan dan menasihatinya, dia berpendapat, Fulan akan menerima nasihatnya dan sementaran ia tidak akan menerima nasihat saya. Maka dia mendapatkan faidah melalui kebersamaan dengannya. Sedangkan saya, tidak mendapatkan manfaat dengan duduk bersamanya. Dia lebih mengetahui terhadap dirinya, dan saya lebih mengetahui terhadap diri saya. Dia tidaklah tertuduh (melakukan keburukan) dalam agama Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Maka, mengapa tidak menjadikan diri kita (sebagai) orang yang cemburu terhadap agama Allah? (Lalu kita jadikan) orang lain sebagai yang mudhayyi’ mumayyi’? Bahkan, jika memperhatikan kaidah-kaidah yang ada pada ahli ilmu, kita akan mengetahui bahwa mereka (orang-orang yang menghajr semua orang tanpa pertimbangan) berbicara dengan hawa nafsu, berbicara dengan kebodohan; demi Allah, mereka tidak memiliki pengetahuan tentang aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah.

Banyak orang berbicara tentang hajr, padahal dia tidak mengetahui tentang hajr kecuali sebagian riwayat yang dibacanya dari buku-buku Ahli Sunah, bahwa Imam Ahmad menghajr, Sufyan menghajr, Fulan menghajr. Dia berpendapat, hajr itu mutlak (umum tanpa syarat). Dia tidak mengkaji masalah ini dengan sebenarnya, tidak merujuk kepada perkataan para ulama. Padahal Syaikhul Islam telah menjelaskan masalah ini, dan beliau telah menyebutkan di dalam banyak kitab beliau. Tetapi, memang membutuhkan waktu untuk mengumpulkan materi itu, dan menyampaikannya kepada orang. Saya telah menyebutkan hal ini dalam (kitab saya), Mauqif Ahli Sunnah. [9]

Kitab saya ini telah lewat bertahun-tahun, (dan) tidak ada yang membicarakannya (yakni mengkritiknya). Kemudian sekarang setelah muncul pengaruh hawa nafsu, mereka mulai membicarakan kitab ini. Mereka mengatakan: “Ini mumayyi, ini mudhayyi’”. Dan tidaklah seorang pun membaca kitab itu, kecuali berpendapat bahwa penulisnya mumayyi’.

Mereka sombong, bahkan terhadap Allah, juga terhadap manusia. Mereka menerapkan hukum-hukum dan mensifati manusia dengan sifat-sifat (yang buruk). Urusan mereka ini terserah Allah. Fitnah (musibah) mereka besar, dan keburukan mereka terhadap masyarakat juga besar; demi Allah, walaupun mereka menisbatkan diri kepada Sunnah. Seseorang tidak akan selamat pada hari Kiamat di sisi Allah lantaran mengatakan “saya salafi”, ketika dia menjadi sebab fitnah (kesesatan) pada manusia.

Sekarang ini, para thalibul ‘ilmi dan pemuda yang menisbatkan diri kepada manhaj Ahli Sunnah dan aqidah Salaf (telah tersebar, Pent). Demi Allah, setelah aqidah ini tersebar dan merata di bumi, dan ada di seluruh negara umat Islam, bahkan di negara-negara Eropa dan Amerika, dan mereka didapati di mana-mana; demi Allah, fitnah (musibah) yang paling besar yang mereka timbulkan sekarang adalah saling menghajr dan saling memutuskan (hubungan antar mereka) disebabkan fatwa-fatwa yang tidak berdasarkan pada kaidah-kaidah ini. Manakah fitnah (musibah) yang lebih besar dibandingkan bahaya yang muncul jika seseorang menjadi penyebab fitnah umat Islam dan Ahlus Sunnah di dalam masalah ini? Jika seseorang merusak hubungan antara dua orang awam umat Islam, demi Allah, dia berdosa. Maka, bagaimanakah dengan orang yang perkataannya menyebabkan fitnah (musibah) yang besar, yakni menimbulkan saling hajr dan memutuskan hubungan di antara penuntut ilmu di antara Ahli Sunnah, di antara Salafiyyin?

Sekarang ini kita tidak mengatakan: “Ta’liflah (bersikaplah lembut kepada) ahli bid’ah!” Karena menurut banyak orang, merupakan dosa besar jika engkau mengatakan: “Ta’liflah ahli bid’ah!” Sehingga sekarang ini, jika kita katakan: “Ta’liflah Ahlus Sunnah,” maka mereka mengatakan: “Tidak ada ta’lif. Semua kesalahan harus dihajr. Semua kesalahan harus kita putuskan dan kita hajr!” Ini merupakan fitnah (musibah) yang besar!

Suatu ketika ada seseorang berbuat salah, lalu ada orang lain yang membantahnya, kemudian orang-orang saling hajr dan memutuskan. Dan umat menjadi dua golongan. Fulan bersama Fulan, Fulan yang lain bersama yang lain.

Demi Allah, telah sampai kepadaku, seseorang menceraikan isterinya disebabkan fitnah (musibah) ini. Apakah ada fitnah yang lebih besar dari fitnah ini? Manusia manakah yang memiliki semangat karena Allah Subhanahu wa Ta'ala, menetapkan masalah ini dan berfatwa kepada orang banyak dan berpegang dengan fikirannya? Bahkan dia menghalangi manusia dari mencari ilmu, dan memperingatkan manusia dari kajian-kajian ini?

Sebagian mereka, ketika saya menuliskan nasihat kepada sebagian penuntut ilmu dalam masalah hajr, dan saya jelaskan kaidah-kaidahnya, saya bacakan penjelasan para ulama, dan dia menganggapnya baik. Kemudian, salah seorang dari mereka membacanya, dan ia mengatakan: “Orang yang membaca nasihat ini, dia akan keluar dengan mengatakan, tidak ada hajr di dunia ini”.

Hendaklah diperhatikan, jika memang kaidah-kaidah (itu) menunjukkan bahwa tidak ada hajr, al-hamdulillah, maka kita tidak menginginkan hajr. Tetapi jika kaidah-kaidah (itu) menunjukkan adanya hajr, sesuai dengan mashlahat-mashlahat, (maka kita melakukan hajr). Seolah-olah tujuan kita dan tujuan agama kita adalah hajr.

Demi Allah, kita membela al haq dari segala penjuru. Sehingga tatkala dinukilkan dari sebagian ulama besar, bahwa pada zaman ini tidak ada hajr, dan murid-murid bertanya kepada saya, maka saya katakan, bahwa ini tidak benar. Kita tidak mungkin mengatakan masa ini bukanlah masa hajr, akan tetapi kita kembali kepada kaidah-kaidah. Memang benar, banyak orang yang tidak layak dihajr, tetapi tidak mungkin kita menerapkan hukum mutlak ini kepada setiap muslim di seluruh negara, bahwa tidak ada hajr, dan ini untuk semua manusia. Tidak! Bahkan sebagian orang, hajr memberikan pengaruh.

Kami mengetahui di antara murid kami, demi Allah, jika kami berpaling darinya, dia datang dan minta maaf, dia mengatakan: “Maafkan saya,” tetapi sebagian orang tidak mendapatkan manfaat dengan hajr.

Walaupun perkataan tadi dari seorang ‘alim yang agung pada diri kami, namun -demi Allah- kami berlaku ikhlas untuk al haq. Kami menetapkan al haq, dan kami tidak berbasa-basi padanya. Kami tidak mencari keridhaan manusia. Jika semangat kita agar bersesuaian dengan Fulan dan Fulan, yaitu (supaya dipuji) “dia itu ditazkiyah (dipuji) dengan gelar Salafi”, maka kami tidak menginginkan ini dari manusia. Kami tidak menginginkan Fulan mentazkiyah kami. Kami tidak ingin celaannya. Bahkan hendaklah manusia menahan keburukannya dan menahan lidahnya dari penuntut ilmu yang menetapkan al haq.

Jika ada sesuatu (kesalahan) pada seseorang, dan dia memiliki ilmu yang nyata dan terang, maka hendaklah dia mendatanginya, menjelaskannya, dan menasihatinya. Karena Ahli Sunnah saling menerima dari yang lain. Saling menasihati di antara mereka. Saya tidak ingin memperpanjang ceramah ini. Ini merupakan nasihat, dan saya ingin menjelaskan masalah yang berkaitan dengan hajr ini, karena saya mengetahui adanya perselisihan dalam masalah ini.

Saya memberi nasihat, saya ingatkan kalian terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk bersatu di atas Sunnah, dan dakwah kalian kepada orang lain. Bersatulah di atas Sunnah. Kalian di atas Sunnah, bisa jadi ada perselisihan di antara kalian dalam masalah-masalah yang besar dan kecil. Hendaklah saling menasihati. Jelaskanlah al haq, dan janganlah kalian berbasa-basi dalam masalah-masalah yang besar dan kecil. Jika ikhwan kalian menerima, maka al-hamdulillah. Jika tidak, maka perhatikanlah kaidah-kaidahnya. Demi Allah, jika saya tidak bertemu dengan Fulan dan tidak berhubungan dengannya, semoga Allah menunjukinya, maka bisa jadi hajr disyari’atkan bagimu. Namun jika engkau tidak bertemu dengannya dan hajrmu tidak berpengaruh dan menjauhkan dari Sunnah, maka janganlah engkau hajr.

Hendaklah Anda sekalian saling menasihati dan bersatulah di atas al haq. Ajaklah semua orang yang menyelisihi Sunnah, ajaklah (mereka) menuju Sunnah, dan bersikaplah lembut kepadanya. Kelemah-lembutan akan mendekatkannya kepada agamanya, yaitu kelemah-lembutan yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kami memohon taufiq kepada Allah untuk kita semua. Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 7-8/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[9]. Kitab Syaikh Ibrahim bin ’Amir ar Ruhaili ini berjudul Mauqif Ahlis Sunnah min Ahlil Ahwa` wal Bida`. Kitab yang terdiri dari dua jilid ini, sangat penting dikaji berkaitan dengan sikap terhadap orang yang menyimpang, khususnya ahli bid’ah. Diterbitkan oleh Maktabah al Ghuraba` al Atsariyah, Pent.

Jika Hajr Terjadi ? (1)

Oleh karena itulah para ulama, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, mengatakan : “Sepantasnya, bahkan disyari’atkan, bagi ahlul fadhl (orang yang memiliki keutamaan) meninggalkan shalat jenazah terhadap orang-orang yang menyimpang, supaya orang selainnya akan berhenti dari penyimpangan itu”.
Jadi, setiap kita sekarang ini, jika salah seorang imam (panutan) umat meninggalkan shalat jenazah terhadap orang-orang yang menyimpang, setiap kita -demi Allah- seandainya ada kekurangan pada satu sisi, kita tinggalkan perkara tersebut, sehingga imam tersebut tidak akan melakukan terhadap kita, sebagaimana yang telah dia lakukan terhadap orang itu. Karena orang, (akan merasa) senang dishalatkan oleh orang yang memiliki kebaikan dan keutamaan. Dengan demikian, hajr disini untuk mashlahat umat.

Demikian juga hajr yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap Ka’b bin Malik. Hajr ini untuk mashlahat umat dan untuk mashlahat orang yang menyimpang. Oleh karena itu, orang-orang menahan diri (tidak mengikuti sikap Ka’ab bin Malik, Pent). Yaitu, pada waktu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghajr Ka’b bin Malik dan kedua kawannya selama 50 hari, sehingga bumi yang luas terasa sempit. Di dalam hajr ini, terdapat kekuatan besar untuk menghentikan (kesalahan, Red), sehingga tidak seorang pun dari umat Islam ini mengulang kesalahan semisalnya. Dengan demikian, hajr di sini untuk mashlahat umat.

HAJR UNTUK MASHLAHAT MUKHALIF
Ada juga hajr untuk mashlahat mukhalif (orang yang menyimpang) pada dirinya. Ini termasuk di antara jenis hajr, (sebagaimana) ditunjukkan oleh dalil-dalil, di antaranya : hajr yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap Ka’b bin Malik dan kedua kawannya. Karena sesungguhnya hajr yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut memiliki manfaat yang besar. Mereka mendapatkan manfaat yang besar dengan hajr ini. Di antara dampak hajr ini, yaitu menerima taubat mereka, dengan kesabaran mereka terhadap hajr yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Di antara dalil hajr ini, yaitu hajr ‘Umar bin al Khaththab terhadap Shabigh bin Atsal yang biasa menanyakan ayat-ayat mutasyabihat yang terdapat di dalam al Qur`an. Beliau (Umar bin al Khaththab) memerintahkan agar manusia menghajrnya, dan beliau memukulnya. Kemudian, beliau memenjarakannya, lalu beliau memukulnya lagi. Kemudian dia (Shabigh bin Atsal) mengatakan: “Wahai Amirul Mukminin, jika engkau menghendaki membunuhku, maka bunuhlah aku,” (akan tetapi) kemudian ‘Umar selalu menghukumnya sampai dia mengatakan: “Telah hilang apa yang ada dalam kepalaku, wahai Amirul Mukminin!”

Hajr tersebut bermanfaat (bagi Shabigh). Perawi mengatakan: “Shabigh bin Atsal sempat menjumpai masa Khawarij. Ketika Khawarij melakukan pemberontakan, dia tidak ikut memberontak. (Maka) ditanyakan kepadanya: ‘Mengapa engkau tidak ikut memberontak (melawan penguasa) bersama Khawarij?’,”. Dia menjawab: “Tidak akan, tidak akan. Allah memberikan manfa’at kepadaku dengan nasihat seorang laki-laki yang shalih”. Jadi hajr itu bermanfaat. ‘Umar bin al Khaththab menghukumnya, (dan) hal itu bermanfaat.

Imam Ahmad rahimahullah telah menghajr sebagian orang-orang yang menyimpang. Dan mereka mendapatkan manfaat. Siapakah yang melakukan hajr? Seorang imam dari imam-imam umat Islam. Sekarang, jika ada orang yang memiliki kebaikan dan keutamaan, dia melakukan hajr bukan karena hawa nafsu, dia melakukan hajr, kemudian sebagian manusia akan berhenti, dan hajr itu bermanfaat. Dengan demikian hajr ini untuk mashlahat orang yang menyimpang.

KAIDAH-KAIDAH HAJR
Hajr ini memiliki kaidah-kaidah, yang membawahi beberapa masalah.

Pertama.
Banyak orang tidak mengetahui hal ini dan menyangka, setiap orang yang menyimpang itu dihajr. Dan setiap orang dari Ahlus Sunnah (yang melakukan kesalahan, Pent) dihajr. Padahal, dalam masalah ini terdapat perincian.

Syaikhul Islam telah menyebutkan: “Hajr hanyalah diadakan untuk mashlahat orang yang dihajr. Jika orang yang menghajr itu lemah, hingga hajrnya tidak bermanfaat, atau orang dihajr tidak mendapatkan manfaat dengan hajr itu, bahkan terkadang menambah fitnah (keburukan), maka (dalam keadaan seperti ini, Red), hajr tidak disyari’atkan”.

Dengan ini Syaikhul Islam menjelaskan, hajr terhadap orang yang menyimpang haruslah memberikan manfaat baginya. Sesungguhnya hajr itu disyari’atkan untuk apa? Untuk mashlahatnya. Allah mensyari’atkan hajr ini untuk mashlahat orang yang salah tersebut, anakmu, istrimu, dan kerabatmu. Seorang umat Islam (yang) terjerumus dalam perbuatan bid’ah, maka disyari’atkan hajr untuk mashlahatnya.

Apakah mashlahatnya itu dengan (jalan) engkau menghajrnya, sehingga dia mendapatkan manfaat dan kembali (kepada kebenaran). Atau engkau tidak menghajrnya, sehingga dia mendapatkan manfaat melalui kelembutan dan kembali (kepada kebenaran)?

Di sini, terdapat khilaf (perbedaan pandangan) di antara manusia tentang hal ini. Ada orang yang menempuh jalan tanfiir (menjadikan orang lari dari orang yang salah), dia menyangka bahwa dia melakukan perbaikan, padahal dia melakukan kerusakan. Yaitu ketika dia menghajr orang yang tidak disyari’atkan hajr terhadapnya. Orang yang disyari’atkan hajr terhadapnya adalah orang yang mendapatkan manfaat. Oleh karena itulah Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan bahwa: “Orang yang melakukan hajr hendaklah orang yang kuat”, ini termasuk syarat hajr.

Adapun orang yang lemah melakukan hajr terhadap si Fulan, maka si Fulan itu akan mengatakan: “Kami tidak memperdulikannya!” Seseorang menghajr kawannya sendiri, maka kawan itu akan mengatakan: “Engkau itu siapa? Engkau hanya seorang kawan. Saya masih memiliki seratus kawan selainmu. Tidak ada masalah bagiku dihajr oleh si Fulan”.

Namun jika seseorang dihajr oleh seorang guru, atau seorang ‘alim, atau seseorang yang memiliki keutamaan, (maka ini bermanfaat, Pent). Kita sekarang ini, - seandainya orang semacam Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, atau Syaikh al ‘Utsaimin, atau Syaikh al Albani, atau Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad, atau ulama-ulama kita- seandainya seseorang mengetahui bahwa ulama itu berpaling darinya, (maka) seorang yang berakal tidaklah ragu (bahwa hajr itu bermanfaat, Pent). Ia akan introspeksi diri. Berjanji tidak akan mengulangi.

Kita semua mengetahui, para ulama itu tidak mengikuti hawa nafsu. Mereka memiliki keutamaan. Berinteraksi dengan mereka merupakan kebaikan. (Jika mereka ini menghajr seseorang), orang-orang akan bertanya: “Mengapa beliau ini menghajr si Fulan?” Maka dia (orang yang dihajr, Red) akan menghubunginya dan mengatakan: “Apa yang telah sampai kepada Anda tentang saya?” Dia (si fulan itu) akan meneliti dirinya sendiri. Jika ia berbuat kesalahan, maka ia akan mengatakan: “Aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepadaNya. Dan aku berjanji kepadamu, aku tidak akan mengulangi,” maka hajr itu berpengaruh.

Tetapi, jika ada seorang awam yang menghajrmu, maka engkau bisa mengatakan: “Dia itu orang jahil (bodoh), tidak mengetahui kedudukanku. Aku tidak mengetahui dia menuntut ilmu. Aku tidak mengetahui (jika) ia mengenal Fulan dan Fulan”. Engkau bisa mengatakan: “Dia menghajrku karena hasad (iri) dan lainnya”. Engkau tidak mendapatkan manfaat (dengan hajr orang awam tersebut). Oleh karena itulah, hendaknya orang yang melakukan hajr adalah orang yang kuat dan berpengaruh.

Kedua.
Bahwa orang yang dihajr, (karena) memang ia layak dihajr dan mendapatkan manfaat.

Syaikhul Islam rahimahullah menetapkan masalah ini. Beliau mengatakan: “Dalam masalah ini, manusia berbeda-beda. Sebagian manusia ada yang diberi watak keras dan kuat. Jika engkau menghajrnya, engkau (bisa) merusaknya. Sebagian manusia ada yang diberi watak lemah-lembut. Jika engkau menghajrnya, (maka) dia akan mengoreksi dirinya”.

Oleh karena itulah Syaikhul Islam rahimahullah juga mengatakan: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghajr sebagian orang, dan menta’lif (bersikap lembut) terhadap sebagian orang,” kemudian beliau mengatakan: “Jika mereka itu merupakan para pemimpin, ditaati oleh kaumnya, dan memiliki kekuatan, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menta’lif mereka”.

Lihatlah Aqra` bin Habis, Uyainah bin Hishn, dan Abu Sufyan. Mereka ini para pemimpin pada kaumnya. Apakah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghajr mereka atau tidak? Mereka ini mempunyai bawaan watak keras dan kuat. Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghajr mereka, kemungkinan akan merusakkan mereka. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menta’lifnya (bersikap lembut kepadanya) sampai Allah memberikan hidayah Islam kepada mereka.

Ini berbeda dengan Ka’ab bin Malik. Beliau ini memiliki kekuatan iman. Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghajrnya, berita itu sampai kepada seorang raja. Lalu raja itu mengirim seorang utusan kepadanya yang mengatakan: “Telah sampai berita kepada kami bahwa kawanmu (yakni Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) telah berlaku kasar terhadapmu. Datanglah kepada kami, tinggalkan laki-laki itu!”

Lihatlah, seandainya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghajr Aqra` bin Habis, atau Uyainah bin Hishn, dan datang orang yang mengatakan “telah sampai berita kepada kami bahwa kawanmu (yakni Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) telah berlaku kasar terhadapmu,” apa yang kira-kira akan terjadi? Mungkin dia akan murtad dari agamanya.

Oleh karena itu, di antara hikmah Allah Subhanahu wa Ta'ala, bahwa kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala membawa targhiib (dorongan terhadap kebaikan) dan tarhiib (ancaman terhadap keburukan). Dan petunjuk Nabi n dalam menyikapi orang-orang yang menyimpang, (beliau) datang dengan ta’lif (bersikap lembut) dan hajr, datang dengan kelembutan dan dengan ketegasan di beberapa tempat. Sebagian orang tidak tepat dihajr, karena engkau akan merusaknya. Kemungkinan orang yang engkau hajr itu adalah seorang yang berilmu, imam masjid, telah berusia 60 tahun. Sedangkan engkau belum melewati 20 tahun. Engkau datang dan mengatakan “imam masjid berbuat salah!”

Sangat disayangkan, bahwa ada orang yang menghubungi seseorang (yang dianggap ‘alim lewat telepon, atau lainnya, Pent) untuk meminta fatwa. Dia mengatakan: “Imam masjid melakukan demikian dan demikian,” dia (yang dimintai fatwa) menjawab: “Hajrlah mereka itu!”

Baiklah, seandainya dia menghajrnya, siapakah yang akan menghajrnya? Siapakah orang yang hajrnya berpengaruh?

Demi Allah, ini adalah perkara yang berbahaya! Aku heran terhadap masalah seperti ini. Masalah ini memiliki kaidah-kaidah. [7]

Seseorang yang tidak dikenal menghubungi (orang yang dianggap ‘alim), lalu dia bertanya tentang orang yang tidak dikenal, dan tidak pernah bertemu, lalu dia menjawab: “Hajrlah dia! Barangsiapa tidak menghajrnya, maka hajrlah dia!” Kemudian engkau lihat keburukan yang terjadi sekarang, disebabkan buruknya pemahaman terhadap petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kemudian datang sebagian orang, lalu dia berusaha menyimpulkan kaidah-kaidah hajr. Apa yang dia katakan?

Dia mengatakan : “Sesungguhnya hajr hanyalah disyari’atkan terhadap orang-orang yang menyimpang dengan penyimpangan yang besar. Adapun penyimpangan yang sedikit (kecil), tidak diperlukan hajr”.

‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq telah menyebutkan, tatkala saya membaca sebagian bukunya, dia membicarakan tentang sikap terhadap orang-orang yang menyimpang. Maka ternyata dia menetapkan, bahwa hajr hanyalah terjadi terhadap bid’ah-bid’ah yang besar. Adapun pelaku bid’ah-bid’ah yang kecil, maka tidaklah dihajr.

Coba perhatikan petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ! Ada di antara orang yang menyimpang -yang dihajr oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam - seseorang yang mengatakan kepada Nabi , agar beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berpisah dari Humaira’ (‘Aisyah Radhiyallahu 'anha); di antara mereka ada yang berlaku kasar kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, di antara orang yang menyimpang ada yang berbicara keras kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi beliau menta’lif (bersikap lunak dengan) mereka. Dan di antara orang-orang yang menyimpang ada yang memakai cincin emas, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berpaling darinya. Maka manakah yang lebih besar penyimpangannya? Orang yang memakai cincin emas, ataukah orang yang memakai minyak wangi?

Dengan demikian menjadi jelas bagi kita, kaidah ini merupakan kesalahan. Yang benar, hajr dan keadaan seseorang yang dihajr atau tidak, tidak berkaitan dengan pendapat yang menyelisihi, besar atau ringan. Engkau terkadang menta’lif sebagian pembesar ahli bid’ah, jika ta’lif itu mendekatkannya kepada agama. Dan terkadang, engkau menghajr seorang saudaramu yang memiliki sedikit penyimpangan, jika hajr itu bermanfaat baginya. Sebagaimana telah terjadi pada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau menghajr istri-istrinya, padahal mereka merupakan Ummahatul Mukminin. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga menghajr sebagian orang yang menyimpang.

Dengan demikian, pelaksanaan hajr -sebagaimana telah kami katakan- merujuk kepada mashlahat. Hajr bukanlah merupakan hukuman. Oleh karena itu, perhatikanlah hikmah Allah, yaitu hudud disyari’atkan atas orang-orang yang bermaksiat, seperti had zina, had khamr, dan had qadzf. Dan hudud tidak disyari’atkan bagi ahli bid’ah. Padahal, bid’ah lebih berbahaya daripada maksiat.

Mengapa demikian? Karena, seandainya sekarang kita mendatangi ahli bid’ah yang menafikan sifat-sifat Allah, lalu kita menderanya, apakah mereka akan mendapatkan manfaat? Tidak bermanfaat! Bahkan -demi Allah- mereka mengharapkan pahala dengan hukuman yang mereka alami itu disebabkan keyakinan yang mereka miliki, yaitu berupa penyucian terhadap Allah (dengan meniadakan sifat itu). Mereka ini, tidak mungkin kesalahan mereka diobati dengan hukuman. Berbeda dengan pelaku maksiat, dia mengetahui bila dia telah bermaksiat. Oleh karena itu, dia berhenti (dengan hudud).

Adapun ahli bid’ah, maka Islam mengajarkan menghilangkan syubhat (kesamaran) darinya. Kadang-kadang Islam mengajarkan ta’alluf (bersikap lembut) terhadap mereka, sehingga kembali kepada al haq. Kadang-kadang Islam mengajarkannya dengan menghukum, sehingga mereka berhenti. Dengan demikian, di antara kaidah-kaidah hajr adalah, memperhatikan keadaan orang yang dihajr. Apakah dia akan mendapatkan manfaat dengan hajr atau tidak?

Kita bisa mengetahui dari anak-anak kita, dari kerabat-kerabat kita. Demi Allah, sebagian anak, jika engkau berpaling darinya, dia datang mengucapkan salam dan mengatakan: “Wahai bapak, apakah yang telah aku lakukan? Maafkan aku”.

Sebagian yang lain, jika engkau berpaling darinya, dia pun berpaling darimu, dan mengatakan: “Bapakku keras. Bapakku memiliki sikap keras”.

Anak yang berpaling darimu ini, tidak pantas dihajr. Oleh karena itulah, hajr terkadang menambah jarak menjadi jauh. Dan anak yang berpaling, jika engkau menghajrnya itu, terkadang mendapatkan manfaat yang besar dengan kata-kata yang memompa semangatnya (untuk berbuat kebaikan), dengan berbuat baik kepadanya, menampakkan kecintaan kepadanya. Sementara, jika engkau memberikan semangat dan menta’lifnya, mungkin justru akan merusaknya. Subhanallah (Maha suci Allah). Allah k telah menciptakan makhluk, dan Dia tidak menciptakan makhluk dengan derajat yang sama pada akal, kesabaran, dan ketahanannya.

Suatu ketika, saya pernah mendengar kaset salah seorang thalibul ‘ilmi yang berbuat salah. Dan sebagian ikhwan menghajrnya. (Tetapi) dia mengatakan: “Demi Allah. Seandainya seluruh penduduk bumi menghajrku, aku tidak akan meninggalkan apa yang aku yakini”. Oleh karena itu, orang semacam ini tidak dihajr. Karena dia tidak akan peduli. Dia memiliki kekuatan. Tidak peduli, (meski) semua orang menghajrnya. Dia akan tetap seperti sedia kala.

Ada juga seseorang yang mengkafirkan seluruh manusia, termasuk para ulama, para penguasa, tanpa meminta fatwa kepada seorang pun. Dia, sekali saja, tidak pernah menganggap dirinya (telah) berbuat salah. Orang seperti ini, tidak dihajr, karena dia tidak peduli dengan siapapun. Akan tetapi, jika engkau menta’lifnya, - semoga Allah menunjukinya - , mungkin ini bermanfaat. Ada tujuan syar’i yang terpancang, yaitu sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam)kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, Pent) :

لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ

Sesungguhnya jika Allah memberi petunjuk kepada satu orang dengan sebab kamu, itu lebih baik bagimu daripada onta merah. (HR Bukhari, Muslim, dan lainnya, Pent.).

Lihatlah sikap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang menyimpang. Apakah itu lebih mendekatkan kepada hidayahnya dan kembali menuju kebenaran? Ataukah (justru) lebih menjauhkannya (dari kebenaran)?

Jika kita menghajr Fulan, kemudian (justru) menjauhkannya dari agama, maka itu termasuk sikap yang diharamkan, yaitu membuat orang menjauh dari agama. Jika kita menghajr Fulan, kemudian itu mendekatkannya kepada agama, maka itu termasuk hajr yang disyari’atkan. Oleh karena itu, harus diperhatikan orang yang dihajr. Apakah dia akan mendapatkan manfaat ataukah tidak?

Aku akan menyebutkan kepada kali sebuah dampak dari pengaruh hajr yang buruk, yang menyelisihi kaidah-kaidah syar’i. Ini disebutkan oleh sebagian thalibul ‘ilmi, terjadi di negeri Barat.

Dia mengatakan, ada beberapa thalibul ‘ilmi bersatu di atas Sunnah. Lalu ada seseorang dari mereka terjatuh pada kesalahan. Mereka semua sepakat menghajrnya. Dia menyatakan bahwa akhirnya orang yang dihajr itu murtad dari agama Islam menuju agama Nashrani.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 7-8/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Yakni dalam perselisihan di antara Ahli Sunnah.
[2]. Kalimat dalam kurung tidak disebutkan oleh Syaikh Ibrahim hafizhahullah.
[3]. HR Bukhari, no. 5534, dari Abu Musa al Asy’ari.
[4]. Yakni, apakah dia merasa lebih berilmu dan kokoh imannya dari imam Salaf ini.
[5]. Bukhari, no. 2295, dan lainnya dari sahabat Salamah bin al Akwa’ z .
[6]. Ghulul, yaitu mengambil harta ghanimah (rampasan perang) sebelum dibagi oleh imam.
[7]. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Syaikh Ibrahim -hafizhahullah- dalam nasihat yang sangat berharga ini.
[8]. Hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya terhadap bentuk kejahatan tertentu.
sumber : www.almanhaj.or.id

Introspeksi Dirimu Dan Hargailah Mereka!

INTROSPEKSI DIRIMU DAN HARGAILAH MEREKA!

Oleh
Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar Ruhaili -hafizhahullah-


Segala puji hanya milik Allah, kita memujiNya, memohon pertolongan dariNya, memohon ampunan kepadaNya, dan kita bertaubat kepadaNya. Kita pun berlindung kepada Allah dari keburukan-keburukan jiwa, dan dari kejelekan-kejelekan perbuatan kita. Barangsiapa yang Allah berikan petunjuk kepadanya, maka tidak ada seorang pun yang mampu menyesatkannya. Dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada seorang pun yang mampu memberikan petunjuk kepadanya.

Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak untuk disembah kecuali hanya Allah satu-satunya, yang tiada sekutu bagiNya. Dan aku pun bersaksi bahwa Nabi kita Muhammad adalah hamba dan RasulNya.

Ya Allah, limpahkanlah shalawat, keselamatan, dan barakahMu atas hamba dan RasulMu, Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya.
Amma ba’d,

Sesungguhnya Allah k telah memerintahkan kita untuk berpegang teguh dengan agama dan taliNya, dan juga memerintahkan untuk bersatu di atasnya. Sebagaimana firmanNya:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai…. [Ali ‘Imran / 3 : 103].

Jika ayat ini diperhatikan, Allah Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk berpegang teguh dengan agama dan taliNya, juga melarang kita berpecah-belah. Ada sebuah isyarat yang menunjukkan, bahwasanya berpegang teguh dengan agama dan tali Allah tidak akan mengakibatkan perpecahan. Dalam hal ini sekaligus mengandung makna bahwa, perpecahan bukanlah bagian dari berpegang teguh dengan agama dan taliNya. Karena, jika berpegang teguh dengan agama dan tali Allah mengakibatkan perpecahan, maka Allah tidak akan memerintahkan kita untuk berpegang teguh, dan sekaligus melarang kita dari berpecah-belah. Karena hal ini kontradiktif.

Jadi, berpegang teguh dengan agama Allah tidak akan mengakibatkan perpecahan dan berpisahnya seseorang dari jama'ah kaum Muslimin. Bahkan, termasuk dalam makna berpegang teguh dengan agama Allah, yaitu berkumpul (bersatu) di atas agama Allah Azza wa Jalla.

Namun, sebagian besar kaum Muslimin, masih ada yang salah dalam memahami makna al i’tisham (berpegang teguh dengan agama Allah) ini. Sehingga, sebagian mengira bahwa ia telah berpegang teguh dengan agama Allah, tatkala ia bersikeras di atas sikap dan pendiriannya. Kemudian di atas pendiriannya ini, ia membangun sebuah sikap; ia mengambil sikap loyalitas dan permusuhan (dengan orang-orang tertentu, Pent), atau memisahkan dirinya dari jama'ah kaum Muslimin. Atau bahkan ia memecah-belah jama'ah kaum Muslimin, dengan anggapan bahwa ia (telah) berpegang teguh dengan agama Allah. Ia pun menyangka dirinya (sebagai) orang yang benar-benar memiliki ghirah (semangat) dalam berpegang teguh dengan agama Allah.

Dari sini, maka kita harus benar-benar memahami makna al i’tisham yang sesungguhnya, dan apa hakikat makna al ijtima’ (bersatu, berkumpul di atas agama Allah) ini. Jadi, apa sesungguhnya makna al i’tisham?

Makna al i’tisham (berpegang teguh) dengan tali dan agama Allah ialah, seorang muslim melaksanakan seluruh perintah yang diwajibkan Allah kepadanya, yang perintah wajib tersebut berkaitan dengan dirinya, (dan) sekaligus menjauhi segala perbuatan yang dilarang Allah kepadanya. Inilah salah satu makna al i’tisham dengan tali dan agama Allah, yang berkaitan dengan pribadi seorang muslim.

Di antara makna al i’tisham dengan agama Allah adalah, seorang muslim berdakwah dan mengajak orang lain kepada kebaikan yang ia berada di atasnya. Sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman: Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal shalih, dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran. [‘Ashr / 103 : 1-3].

(Surat ini mengandung perintah untuk) beriman, beramal shalih, lalu berdakwah kepada kebaikan.

Tatkala seorang da’i berdakwah, mengajak orang lain kepada kebaikan dan kepada hal yang ia berada di atasnya, berarti -sudah merupakan sesuatu yang diketahui dari sunnatullah al kauniyah (ketentuan Allah yang pasti terjadi), dan juga sesuai dengan nushusy syar’iyah (dalil-dalil syar’i)- sesungguhnya tidak setiap orang yang terjun berdakwah dan mengajak orang lain kepada Allah, pasti akan diterima dakwahnya. Bahkan, para rasul pun telah didustakan dan dimusuhi oleh orang-orang yang memusuhi mereka.[1]

Syaikhul Islam berkata,”Tidak ada seorang rasul pun, melainkan pasti ada di antara kaumnya yang memusuhinya”. Dan telah datang seorang rasul (pada hari kiamat), sedangkan ia tidak memiliki satu pengikut pun. Inilah ketentuan Allah Azza wa Jalla yang telah Ia tetapkan keadaannya, dan telah diterangkan oleh nushush syar’iyah. Sehingga, tidak setiap orang yang berdakwah ilallah (mengajak orang lain kepada Allah) pasti akan diterima dakwahnya. Maka dari sinilah, seorang muslim wajib ber-i’tisham dengan tali dan agama Allah, yakni; di saat ia tidak mendapatkan jawaban dari orang-orang yang ia dakwahi.

Permasalahan ini merupakan bagian berbahaya, yang kebanyakan orang tergelincir padanya. Sebagian orang berdakwah ilallah. Pada mulanya ia lurus dalam berdakwah, mengajak orang lain kepada kebaikan. Namun, tatkala tidak mendapatkan respon dari orang-orang yang ia dakwahi, mulailah tampak pada dirinya penyimpangan. Bahkan, pada akhirnya mengantarkannya pada perbuatan yang benar-benar menyimpang. Dia menempuh sebuah cara yang sama sekali tidak pernah diperintahkan (dalam berdakwah). Hingga akhirnya, ia pun tidak terlepas dari salah satu di antara dua keadaan, yaitu berperilaku ekstrim dan keras dalam dakwahnya, dengan anggapan bahwa ia dituntut dan harus menunjukkan orang-orang kepada jalan yang benar. Atau (bahkan yang terjadi adalah) sebaliknya, ia justru melemah dan malas berdakwah.

Kedua hal ini dilarang oleh Allah Azza wa Jalla. Allah telah melarang bermalas-malasan atau lemah dalam berdakwah. Sebagaimana firmanNya kepada NabiNya:

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ

Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul yang telah bersabar…. [al Ahqaaf / 46 :35]
.
Maksudnya ialah, bersabarlah dalam berdakwah, dan dalam mendakwahi orang-orang.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah memberikan peringatan tentang hal ini, agar umatnya tidak berlebih-lebihan (dalam berdakwah). Bahkan sebelumnya, telah ada peringatan di dalam al Qur`an agar umatnya tidak berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam mendakwahi orang lain.

Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam merasa sempit disebabkan pamannya -Abu Thalib- yang tidak juga mau menerima petunjuk darinya, Allah Azza wa Jalla menurunkan sebuah ayat padanya:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya…. [al Qashash / 28 : 56].

Jadi, Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan, hidayah ini, tidak ada seorang pun yang memilikinya [3]. Bahkan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri -yang dakwahnya mendapatkan pertolongan langsung dari Allah- tidak memiliki jenis hidayah ini untuk orang yang terdekat dengannya (yakni pamannya, Pent).

Oleh karena itu, yang wajib kita lakukan (dalam berdakwah) hanyalah mengajak orang-orang kepada kebaikan, memberikan nasihat kepada orang-orang yang menyelisihi kebenaran. Kita tidak boleh keluar dari kaidah dan batasan syari'at dalam bermu'amalah dengan mereka. Yang harus kita lakukan hanyalah terus berdakwah, mengajak mereka menuju kebaikan. Sampai akhirnya terkondisikan dengan keadaan, yang mereka tidak terlepas dari salah satu di antara dua keadaan, yaitu mendapatkan hidayah (petunjuk), atau tetap berada seperti keadaan mereka semula. Tetapi, telah tegak atas mereka hujjah dan alasan kita (di hadapan Allah kelak). Adapun perkara mereka, kita serahkan seluruhnya kepada Allah Azza wa Jalla. Inilah hakikat makna al i’tisham (berpegang teguh dengan agama Allah).

Adapun orang yang beranggapan, tatkala dakwah tidak diterima orang lain, (maka) metode dan manhaj dakwah harus berubah. Atau bahkan ia mengira, dakwah harus ditempuh dengan cara-cara lain dengan anggapan demi diterimanya dakwah, atau demi menunjukkan kepada orang lain. Maka, sungguh orang ini telah salah dan keliru. Akan tetapi yang benar, ia harus tetap berada di atas metode dan manhaj dakwah yang benar dan bermanfaat, sejak ia memulai dakwahnya dan mengajak orang lain menuju kebaikan, sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam permasalahan at ta’lif wal hajr (antara bersikap lunak dan mengisolir orang yang menyelisihi dakwah).[4]

Sehingga, apabila perkaranya telah jelas baginya, bahwa si Fulan, nasihat atau pun sikap lemah-lembut tidak akan bermanfaat baginya, maka hendaknya ia lanjutkan dakwahnya tanpa merubah sedikitpun metode dan manhaj yang benar dalam berdakwah. Atau, jika ia yakin jika hajr (melakukan isolasi) dan sikap menjauhnya dari si Fulan tersebut akan bermanfaat, maka hendaknya ia menempuh cara, yang ia yakini akan lebih bermanfaat bagi siapapun yang ia dakwahi.

Inilah hakikat al i’tisham. Yakni, seorang da’i lurus dan istiqamah (konsisten) di atas agamanya, baik untuk dirinya maupun orang lain, tatkala ia mendakwahinya.

Berdakwah merupakan amal shalih. Bahkan, berdakwah merupakan salah satu amal shalih yang paling utama. Karena, dakwah merupakan perbuatan, yang manfaatnya berpengaruh pada orang lain. Sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman: Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan amal yang shalih…. [Fush-shilat / 41 : 33].

Maka, ad da’watu ilallah merupakan salah satu amal shalih yang paling utama.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah bersabda:

((الدَّالُّ عَلَى الخَيْرِ كَفَاعِلِهِ))

Orang yang menunjukkan (orang lain) kepada kebaikan, (ia) seperti pelaku kebaikan tersebut. [5]

Jadi, setiap orang yang menunjukkan orang lain kepada kebaikan, maka ia bagaikan pelaku kebaikan itu sendiri. Sehingga, semua orang yang berbuat baik dengan sebab dakwah seseorang, maka ia mendapatkan pahala seperti orang yang berbuat baik tersebut. Inilah makna al i’tisham.

Adapun makna al ijtima’ (bersatu, berkumpul di atas agama Allah), maka terjadi pula sebagian muslimin yang salah dalam memahaminya. Bahkan sebagian kelompok yang menisbahkan (menyandarkan) diri mereka kepada manhaj dakwah (yang benar) pun keliru dalam memahami makna al ijtima’ ini.
Sesungguhnya, apa pengertian al ijtima’ ini?

Al ijtima’ adalah, hendaknya tatkala seorang muslim berdakwah ilallah, mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar, dan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan atasnya, ia sama sekali tidak boleh keluar dari kaidah dan batasan syari'at dalam bermu'amalah dengan orang-orang yang ia dakwahi. Namun ini bukan berarti, (ketika berdakwah) Anda harus selalu mendampingi, mendekati, berduduk-duduk dengan setiap orang yang Anda dakwahi. Akan tetapi, Anda juga tidak boleh melarang hak-hak kaum Muslimin untuk tetap bermu'amalah dengan diri Anda.

Terkadang, ada sebagian orang yang sama sekali tidak memiliki faidah tatkala seorang da’i berduduk-duduk dengannya. Bahkan, ada sebagian orang yang -secara tabiat- tidak cocok diajak berduduk-duduk tatkala ia didakwahi.

Maksudnya, ketika seorang muslim berdakwah kepada yang lainnya, dan menunaikan hak-haknya, (seperti) mengucapkan salam, menunjukkan wajah yang ramah ketika bertemu, menjenguknya ketika ia sakit, mengunjunginya saat ia membutuhkan, dan menunaikan hak-hak seorang muslim lainnya, hal ini tidak mengharuskan seseorang yang berdakwah selalu mendampinginya, dan selalu berada bersama-sama dengannya.

Sebagian para penuntut ilmu beranggapan, makna al ijtima’ adalah, seseorang harus selalu bersama-sama dan selalu berada dalam satu majelis dengan orang lain (yang didakwahi). Bukan seperti ini perkaranya! Akan tetapi maksudnya adalah, berloyalitas dan bermu'amalah kepada seluruh kaum Muslimin secara umum, kemudian, setelah itu, ia boleh memilih di antara mereka orang-orang yang pantas dan layak untuk diajak duduk-duduk bersama-sama, dan menolongnya dalam kebaikan.

Sekali lagi, hal ini jangan sampai dipahami bahwa orang yang tidak langsung diperlakukan dengan sikap loyalitas lebih, berarti ia telah dihajr (diisolir, diboikot) atau dilanggar hak-haknya dalam bermu'amalah. Tidak seperti ini! Akan tetapi, seperti telah dipahami bersama, merupakan sesuatu yang wajar jika manusia memiliki orang-orang pilihannya dan yang terdekat dengannya dalam bermu'amalah. Sedangkan ia tetap tidak melanggar ataupun memutuskan hak-hak orang lain dalam bermu'amalah.

Al ijtima’, juga bisa bermakna menunaikan hak-hak kaum Muslimin. Jika bertemu saudaranya, ia memberi salam. Jika saudaranya meninggal, ia mengantar jenazahnya. Jika sakit, ia menjenguknya. Sehingga ia benar-benar telah menunaikan seluruh hak saudaranya. Inilah makna al ijtima’.

Juga, hendaknya ia mencintai kebaikan untuk saudaranya. Menasihati ketika ada kekeliruan pada saudaranya. Membantunya tatkala ia membutuhkan bantuan. Inilah hak-hak persaudaraan, dan inilah makna al ijtima’.

Ada lagi sebagian orang yang salah dalam memahami hakikat, makna al ijtima’ yang benar. Mereka mengira, makna al ijtima’ adalah berkumpulnya kaum Muslimin, walaupun mereka bersatu di atas kebatilan. Oleh kerena itu, munculah saat ini kelompok-kelompok, yang metode dan tujuan mereka hanyalah merekrut dan mengumpulkan kaum Muslimin. Bahkan mereka mengatakan, "hendaknya sebagian kita memberikan ‘udzur (keleluasaan dan kelonggaran) kepada sebagian yang lain terhadap apa-apa yang kita perselisihkan, dan hendaknya kita bersatu dan berkumpul di atas sesuatu yang kita sepakati bersama".

Bagaimana dan apa maksud dari perkataan “sebagian kita memberikan ‘udzur (keleluasaan dan kelonggaran) terhadap sebagian yang lain” ini?

Kalau maksudnya, jika kita melihat kesalahan seseorang yang berbuat salah, maka kita memberikan ‘udzur atas kesalahannya, maka bagaimana mungkin kita bisa memberikan ‘udzur? Kita tidak boleh memberikan ‘udzur (atau membiarkannya leluasa di atas kesalahannya). Bahkan kita wajib meluruskannya dan menyadarkannya, bahwa ia berada di atas kesalahan.

Namun, jika ia melakukan sebuah kesalahan sedangkan ia jahil (bodoh, belum mengetahui bahwa hal itu merupakan kesalahan, Pent), maka orang yang seperti inilah yang bisa mendapatkan ‘udzur (dimaklumi karena kebodohannya). Dan siapapun yang terjerumus ke dalam kesalahan, kita tidak boleh membiarkannya atau memberinya ‘udzur. Bahkan wajib bagi kita untuk memberitahukannya, memperingatkannya, menasihatinya, dan menjelaskan perkara yang sebenarnya. Jika setelah itu, dia menerimanya, maka alhamdulillah, dan jika ia tetap tidak mau menerima, kita tetap tidak boleh dan tidak lantas memberinya ‘udzur dan kelonggaran untuk tetap berada di atas kesalahannya. Kendatipun demikian, kita juga tidak boleh langsung bersikap frontal dan keras karena kesalahan yang ada padanya.

Bagaimana mungkin kita memberikan‘udzur kepada orang yang bermaksiat kepada Allah? Walaupun demikian, keadaan kita yang tidak boleh memberikan ‘udzur kepadanya, juga tidak lantas membuat kita bersikap ekstrim dan keras kepadanya.

Sehingga harus dibedakan, antara orang yang diberi ‘udzur ketika ia berbuat salah karena jahil, dengan orang yang berbuat salah dengan ilmu. Orang yang pertama, semacam inilah yang bisa kita katakan ia adalah ma’dzur (diberi ‘udzur) karena kebodohannya. Sedangkan orang yang kedua, yang bermaksiat dan ia mengetahui hukumnya, kita tidak boleh mengatakan bahwa ia ma’dzur. Akan tetapi, yang harus kita lakukan terhadap orang seperti ini ialah menasihatinya dan menjelaskan kepadanya.

Dari sinilah, kita akan senantiasa berkumpul di atas al haq (kebenaran). Kita pun saling menesihati dengan al haq. Jika ada di antara saudara kita yang melakukan kesalahan, kita menasihatinya, menjelaskan kepadanya perkara yang sebenarnya. Dan kita pun tidak lantas menghajrnya (mengisolirnya), atau memutuskan hubungan dengannya. Terlebih lagi jika hajr ini disyariatkan untuk dilaksanakan terhadapnya.

Sebagian orang, ada pula yang keliru dalam memahami makna al ijtima’. Mereka mengira makna al ijtima’ adalah tidak mengingkari kemungkaran apapun, dan tidak memerintahkan yang ma’ruf (yakni, tidak ber’amar ma’ruf nahi munkar, Pent). Mereka pun mengira, orang yang melakukan ’amar ma’ruf nahi munkar, berarti ia telah memecah-belah kaum Muslimin. Bahkan, di antara mereka ada yang mengatakan, "sesungguhnya orang yang berdakwah ilallah dengan bermanhaj Salaf, pada hakikatnya ia memecah-belah kaum Muslimin”!?

Demikianlah perkataan mereka. Padahal, justru berdakwah ilallah di atas manhaj Salaf yang benar, (ini) merupakan salah satu hal yang sangat agung, yang membuat hati kaum Muslimin bersatu di atasnya. Sedangkan hati, tidak mungkin akan berkumpul dan bersatu, kecuali hanya di atas al haq dan agama Allah.

Oleh karena itu, berdakwah kepada as Sunnah dan melakukan ’amar ma’ruf nahi munkar tidak akan memecah-belah kaum Muslimin, jika dilakukan dengan fiqh (dengan ilmu dan pemahaman yang benar). Yang memecah-belah kaum Muslimin adalah kejahilan (kebodohan) seseorang dalam berdakwah, sikap ekstrim dan keras yang ia lakukan bukan pada tempatnya.

Orang yang berdakwah dengan fiqh (dengan ilmu dan pemahaman yang benar), dengan lemah- lembut, dan dengan menempuh cara dan manhaj dakwah yang benar dalam berdakwah ilallah Azza wa Jalla, ia tidak akan memecah-belah kaum Muslimin.

Oleh sebab itu, di sini harus lebih diperjelas lagi. Makna al ijtima’ bukan berarti, kalau melihat orang yang berbuat salah, kita tidak mengingkarinya, atau bahkan kita katakan, "tidak boleh bagi seorang muslim mengingkari saudaranya", ini sangat keliru. Karena, justru mengingkari kesalahan saudara kita sesama muslim merupakan salah satu bentuk al ijtima’ dan bukti rasa cinta dan kasih-sayang kita kepadanya.

Oleh sebab inilah Allah Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk menegakkan ’amar ma’ruf nahi munkar. Allah berfirman : Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, mereka adalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. [Ali ‘Imran / 3 : 104-105].

Perhatikanlah ayat ini! Ayat ini mengandung perintah untuk menegakkan ’amar ma’ruf nahi munkar, sedangkan Allah juga berfirman:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih…. [Ali ‘Imran/3:105].

Hal ini menunjukkan, bahwa ’amar ma’ruf nahi munkar sama sekali tidak bertentangan dengan al ijtima’. Karena jika tidak demikian, bagaimana mungkin Allah k memerintahkan dua hal yang bertentangan sekaligus? Allah telah memerintahkan kita untuk melakukan ’amar ma’ruf nahi munkar, dan Allah pula yang telah berfirman: Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka…. [Ali ‘Imran/3:105].

Jadi, jelaslah hal ini menunjukkan bahwa ’amar ma’ruf nahi munkar tidak membuat umat Islam bercerai-berai. Namun, hal ini pun harus dilakukan dengan fiqh (dengan ilmu dan pemahaman dalam berdakwah yang benar) menurut agama Allah.

Adapun persangkaan orang-orang yang jahil terhadap masalah ini, dan pendapat orang yang mengira bahwa berdakwah mengajak kepada aqidah shahihah (akidah yang benar) atau tauhid (mengesakan Allah dalam beribadah) akan mengakibatkan perpecahan, maka pandangan ini terjadi karena kejahilannya (dalam agama).

Sungguh para salaful ummah telah bersatu dengan sebab aqidah shahihah, mereka tidak bercerai-berai. Demikian pula Ahlus Sunnah secara umum, tatkala berkumpul dan bersatu di atas aqidah shahihah, mereka pun terkenal sebagai ahlul ijtima’ (orang-orang yang bersatu).

Syaikhul Islam berkata,"Ahlus Sunnah adalah ahlul ijtima’ wal i-tilaf (orang-orang yang bersatu dan saling berkesesuaian). Sedangkan ahlul bida’ adalah ahlut tafarruq wal ikhtilaf (orang-orang yang bercerai-berai dan saling berselisih).”

Oleh karena itu, (pada) ahlul bida’ selalu bermunculan firqah demi firqah (golongan), sampai akhirnya menjadi golongan-golongan yang sangat banyak. Mereka, walaupun secara zhahir terlihat bersatu, namun pada hakikatnya mereka bercerai-berai dan saling berselisih.

Di dalam kitab-kitab yang berkaitan dengan firaq (golongan-golongan dalam Islam), para ulama telah menyebutkan, Khawarij adalah golongan yang sebagian mereka tidaklah keluar dari kelompoknya, melainkan sebagian kelompok tersebut kembali dengan membawa kelompok-kelompok lainnya. Dan di antara mereka tidaklah ada yang dianggap salah atau keliru, melainkan mereka selalu berlepas diri dari orang yang salah tersebut, bahkan sampai pada tahapan pengkafiran. Sehingga, akhirnya terlahir firqah-firqah baru lainnya.

Adapun Ahlus Sunnah, mereka adalah ahlul ijtima’. Mereka senantiasa berada di atas al haq (kebenaran). Jika ada di antara saudaranya yang menyelisihi kebenaran, mereka tetap bersabar mendakwahi dan memperingatkan saudaranya tersebut. Mereka pun tidak pernah berkata "kita harus diam dari kesalahannya”. Mereka terus mendakwahinya kepada kebenaran, membimbingnya, dan mereka bersabar dalam berdakwah.

Jadi, hendaklah kita benar-benar memahami makna al ijtima’. Sekali lagi, makna al ijtima’ bukan berarti kita berkumpul atau bersatu (walaupun) di atas kebatilan. Bukan pula bermakna kita diam terhadap kesalahan-kesalahan yang terjadi, dan kita tidak memperingatkan orang yang salah dari kesalahannya. Semua ini bukan makna al ijtima’ yang benar, karena semuanya menyelisihi perintah Allah Azza wa Jalla.

Juga sebagaimana penjelasan di atas, ’amar ma’ruf nahi munkar, sama sekali tidak bertentangan dengan al ijtima’, bahkan sangat mungkin dipadukan. Oleh karena itu Allah Azza wa Jalla memerintahkan kita dalam firmanNya : Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih… [Ali ‘Imran/3:105].

Firman Allah ini disampaikan, setelah Dia memerintahkan kita untuk melakukan’amar ma’ruf nahi munkar. Dan di sini terdapat peringatan (lainnya), yaitu hendaknya ’amar ma’ruf nahi munkar jangan menjadi sebab berpecah-belahnya umat.

Dan sekarang, muncul sebuah opini yang mengatakan, (dengan) melakukan ’amar ma’ruf nahi munkar, memastikan terjadinya pemutusan hubungan dengan kaum Muslimin. Atau bahkan mengharuskan orang yang didakwahi harus dihajr, jika ia tidak sependapat dengannya. Dia memutuskan segala hubungan dengan orang-orang yang menyelisihinya ketika ia berdakwah. Bukan! Perkaranya, bukanlah seperti ini!

Akan tetapi -sekali lagi- bahkan sangat mungkin dipadukan antara ’amar ma’ruf nahi munkar dan al ijtima’, serta mulazamatu jama’atil muslimin (berpegang teguh dengan jama'ah kaum Muslimin). Oleh sebab itu, saya (Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar Ruhaili -hafizhahullah-) menasihati para da’i dan penuntut ilmu di negeri ini. Pada mereka terdapat kebaikan yang begitu banyak. Mereka memiliki dakwah yang penuh berkah. Hendaknya mereka berpegang teguh dengan kaidah-kaidah dasar (dalam berdakwah) yang telah diterangkan ini.

Yang pertama kali harus mereka lakukan adalah, bersatu dan tidak saling berselisih antara sesama mereka. Kemudian, hendaklah saling mencintai karena Allah. Karena orang yang beraqidah Ahlus Sunnah, berarti ia telah mendapatkan kebaikan yang sangat banyak. Sehingga, orang ini berhak untuk dicintai, disikapi dengan loyalitas tinggi, sesuai dengan kadar kebaikan yang terdapat pada dirinya. Dan seandainya orang ini berbuat salah dan memiliki kesalahan, hendaklah diperingatkan dari kesalahannya. Jika ia menerima peringatan dan nasihat, maka walhamdulillah. Dan jika tidak, maka kebaikan yang ada pada dirinya -berupa mengikuti manhaj Ahlus Sunnah dan juga dakwah yang ia lakukan di atas manhaj Salaf-, membuat kita tidak berhak memutuskan hubungan persaudaraan dengannya. Kita bersabar dan tetap memberinya peringatan. Dan jika kita sudah memberikan peringatan kepadanya, maka ijtima’ kita bersamanya bukanlah sebuah al ijtima’ ‘alal bathil (bersatu dan berkumpul di atas kebatilan). Yang salah adalah, tatkala kita diam di atas kebatilan dan kesalahannya. Dan hendaknya, peringatan yang kita sampaikan kepadanya dengan cara yang baik, lunak dan lemah lembut, supaya ia bisa menerimanya.

Kemudian permasalahannya, jika kita sudah mempraktekkan manhaj yang benar seperti ini dalam berdakwah, lalu sebagian saudara-saudara kita keliru dalam memahami manhaj dakwah ini, apakah jika mereka menghajr kita, maka kita juga menghajr mereka? Apakah jika mereka tidak bisa bersabar dengan manhaj dakwah ini, dan tidak mau mempraktekkannya, kita juga memperlakukan mereka sebagaimana mereka memperlakukan kita?

Jika mereka sampai menghajr kita, maka kita tetap tidak boleh menghajr mereka! Jika mereka memutuskan hubungan persaudaraan dengan kita, maka kita tidak boleh memutuskan hubungan persaudaraan dengan mereka. Dan hal ini, jangan dipahami bahwa, seseorang harus menghinakan dirinya (demi persatuan dan persaudaraan, Pent).

Jika seorang dari mereka mau bergaul dengan saudara-saudara kita, maka kita pun bergaul dengannya. Adapun jika ia tidak mau berhubungan dengan saudara-saudara kita, maka kita pun tidak boleh mengikuti orang yang tidak mau berhubungan dengan kita, atau saudara-saudara kita, kecuali jika masih mungkin bisa diharapkan darinya -dengan sering mengunjunginya dan berbicara dengannya- kebaikan dan hidayah dari Allah, maka hal ini sangat baik (untuk dilakukan).

Jadi, apabila orang-orang berbuat tidak baik terhadap kita, maka kita tidak boleh membalas dengan sesuatu yang tidak baik pula. Bahkan, yang wajib kita lakukan ialah bersabar. Kita tetap mempertahankan hubungan persaudaraan dengan mereka. Kita mengharapkan pahala dari Allah dengan berbuat baik terhadap mereka. Karena, bagaimanapun keadaan mereka, mereka adalah saudara-saudara kita. Kita tetap berusaha untuk selalu berhubungan dengan mereka, dan ber-ijtima’ bersama mereka. Namun, jika mereka tetap saja memutuskan hubungan dengan kita, maka kita serahkan urusan mereka kepada Allah, dan merekalah yang mempertanggungjawabkan perbuatan mereka ini di hadapan Allah.

Demi mempersatukan kalimat kaum Muslimin, kita harus berusaha semampu kita. Kita pun berusaha sedapat mungkin untuk tidak berpecah-belah sesama kita.

Para ulama sebelum kita, terjadi perbedaan pendapat di antara mereka dalam beberapa permasalahan agama. Namun, tidak membuat mereka sampai berpecah-belah. Hati mereka tidak pernah bercerai-berai. Pada hati mereka, tidak pula terdapat rasa hiqd, hasad (iri dan dengki), maupun permusuhan kepada saudara-saudara mereka. Bahkan yang terjadi, justru di antara mereka saling mencintai, menyayangi, berloyalitas. Dan semestinya, seperti inilah diri kita (dalam bermu'amalah dan dakwah). Sehingga, rasa saling cinta kita, persaudaraan kita, loyalitas kita, (semua) berada di atas as Sunnah. Sedangkan jika terjadi kesalahan atau kekeliruan yang dilakukan oleh seorang dari saudara-saudara kita, maka kita membenci hal ini, dan kita berikan peringatan kepada saudara kita tersebut. Dan kita pun tetap mengakui kebaikan yang ada pada saudara kita yang berbuat salah tersebut. Bahkan kita menolongnya ketika ia berdakwah kepada orang lain menuju as Sunnah. Kesalahan orang ini, sama sekali tidak boleh menghalangi kita dari menolongnya, selama ia berada di atas kebaikan.

Adapun jika seorang dari saudara-saudara kita berbuat salah, lantas kita menjauhinya, mentahdzirnya (memperingatkan orang lain untuk menjauhinya dengan sebab bahaya kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut, Pent), memutuskan hubungan persaudaraan dengannya, atau kita putuskan seluruh majelis ilmu yang ia sampaikan ilmunya melalui majelis ilmunya, dan bahkan kita arahkan orang-orang awam agar tidak menghadiri majelis ilmunya, dan kita larang mereka untuk mengambil faidah darinya, maka semua ini, sama sekali tidak benar dan tidak diperbolehkan. (Perbuatan) ini merupakan salah satu bentuk menghalang-halangi seseorang untuk berdakwah (kepada al haq).

Namun, jika ia berbuat salah, sementara kita khawatir terhadap bahaya kesalahan yang ia lakukan, pada saat ini mungkin bagi kita untuk menerangkan kesalahannya kepada khalayak, namun, kita juga tetap menjelaskan kepada khalayak, bahwa ia adalah saudara kita, ia banyak memiliki kebaikan dan keutamaan, tetapi ia memiliki kesalahan dalam masalah tertentu, yang insya Allah ia akan rujuk kembali kepada kebenaran. Jadi, hal ini mungkin kita lakukan (jika memang benar-benar demikian keadaannya).

Adapun, jika orang yang berbuat salah ini bukan dari kalangan kita (yang bermanhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah), ditambah lagi hal lainnya, -yakni ia banyak memiliki kekeliruan, kesalahan, bahkan kebatilan- dan bagaimanapun ia (juga) menisbahkan dirinya kepada manhaj Salaf dan dakwah salafiyah. Atau bahkan ia mengaku sebagai seorang Salafi, namun ia terkenal banyak memiliki kekeliruan dan kesalahan, terlebih lagi dikenal sangat mudah melontarkan kata-kata seenaknya tanpa bayyinah (bukti dan keterangan yang benar dan nyata), (maka) orang ini -betapapun dan bagaimanapun ia mengaku sebagai seorang Salafi- kita tidak boleh mengarahkan orang-orang awam untuk menghadiri majelis ilmunya. Karena kita khawatir, jika orang-orang awam kaum Muslimin terfitnah dengannya, atau bahkan agama mereka terancam bahaya dengan sebab dakwah orang semacam ini. Dengan demikian, kita telah berbuat adil dan seimbang dalam menilai dan menghukumi permasalahan ini.

Jadi, kewajiban para penuntut ilmu adalah bersatu di atas Kitabullah dan sunnatun Nabi n (baca: al Qur`an dan as Sunnah, Pent), saling memberikan nasihat sesama mereka, dan saling menerima nasihat yang diberikan oleh sebagian mereka kepada sebagian yang lain. Karena sesungguhnya, orang yang memberi nasihat, berarti ia mencintai saudaranya yang ia nasihati. Bukan sebaliknya (yakni, bukan berarti membencinya). Dan orang yang berakal akan paham, tatkala saudaranya memberikan nasihat kepadanya, berarti ia masih dicintai olehnya, dan bukan dibenci. Sehingga, siapakah an nashih?

An nashih (orang yang memberikan nasihat) adalah orang yang mencintai saudaranya (agar mendapatkan kebaikan). Dan nashat (itu), sama sekali tidak mengandung makna menyebarkan aib dan mencela orang yang dinasihati. Bahkan di dalam nasihat, mengandung makna mencintai (yakni, mencintai saudaranya agar mendapatkan kebaikan, sebagaimana ia telah medapatkan kebaikan tersebut, Pent).

Dari sini, maka apabila terjadi sebuah kesalahan yang dilakukan seorang dari saudara-saudara kita, kita tidak boleh langsung menyebarluaskan kesalahannya. Tetapi, yang harus kita lakukan adalah segera menghubunginya, lalu menjelaskan kepadanya perkara yang sebenarnya, jika memang ia benar-benar berbuat salah. Kemudian kita memohon kepadanya agar rujuk dari kesalahannya, dan kembali kepada kebenaran. Hendaknya pula, kita berusaha menasihatinya dengan tidak terang-terangan (yakni, dengan cara rahasia dan sembunyi-sembunyi).

Sebelum kita melakukan semua ini, kita hendaklah benar-benar ta-tsabbut (mencari kebenaran) dari orang yang tertuduh berbuat salah tersebut secara langsung. Karena, jika kita hanya mendengar perkataan orang-orang “fulan berkata demikian”, “fulan berbuat demikian”, kita hanya membangun prasangka-prasangka buruk terhadap sesuatu yang belum jelas. Bahkan pernah terjadi, seseorang mengambil sebuah sikap terhadap sebagian saudara-saudaranya beberapa tahun lamanya. Dan tatkala ia mengetahui keadaan yang sebenarnya, ia menyadari bahwa dirinyalah yang telah bersikap salah.

Jadi, pertama kali yang harus kita lakukan adalah ta-tsabbut. Karena, betapa banyak penukilan-penukilan khabar yang hanya berdasarkan sesuatu yang rancu dan tidak jelas. Sehingga, apabila kita telah melakukan ta-tsabbut, dan kenyataannya memang ia telah berbuat keliru, maka kita segera menghubunginya untuk kita nesihati. Kita berkunjung kepadanya dengan merendahkan hati kita.

Yang perlu diperhatikan di sini, hendakhal nasihat disampaikan dengan cara yang baik dan lembut. Jangan seperti contoh perkataan si Fulan berikut: “Wahai Fulan! Bertaqwa kamu kepada Allah! Kamu benar-benar telah berbuat salah! Dan sekarang kamu hanya boleh memilih salah satu dari dua keadaan, kamu rujuk dari kesalahanmu, atau kami tahdzir kamu!”.

Siapa yang mau menerima nasihat semacam ini?

Akan tetapi, lihatlah contoh nasihat yang baik berikut ini: “Dirimu wahai Fulan, -walhamdulillah- berada di atas kebaikan dan keutamaan yang banyak. Mudah-mudahan Allah senantiasa menjadikanmu bermanfaat bagi kaum Muslimin dengan ilmu yang engkau miliki. Dan masih banyak orang yang menunggumu untuk mendapatkan kebaikan yang banyak darimu. Dan saya -demi Allah- juga mencintaimu, saya juga senantiasa mendoakan kebaikan untukmu. Namun, ada permasalahan, yang saya sangat berharap kepadamu, untuk engkau periksa ulang dan teliti kembali. Mudah-mudahan dihasilkan darinya sebuah manfaat untukmu. Permasalahan tersebut adalah…”.

Kita tidak mendatanginya seolah-olah seperti seorang guru, lantas kita berkata kepadanya: “Ketahuilah...!”, tetapi, kita mendatanginya dalam keadaan memberikan nasihat kepadanya, merendahkan hati kepadanya saat kita berbicara dan menasihatinya. Kita jelaskan permasalahan yang berkaitan dengan kesalahannya secara baik. Kita juga jelaskan beberapa kitab atau referensi-referensi yang baik, dari karya-karya ilmiah para ulama untuk digunakan, yang juga membantunya dalam memahami permasalahan yang dirinya keliru padanya.

Jika ia masih belum mau menerima nasihatmu, Anda ulangi dua kali, atau tiga kali. Kalau dia belum juga mau menerima nasihatmu, maka tidak mengapa jika Anda menghubungi (salah) seorang dari para ulama, yang mungkin Anda pernah mengenalinya, lalu menjelaskan permasalahan tersebut dan Anda berkata : ”Fulan belum mau menerima nasihat dariku. Mudah-mudahan ia bisa menerima penjelasan dan nasihat darimu. Maka, tolong nasihati dia dan jelaskan permasalahan yang sebenarnya…”.

Jadi, hendaknya seorang muslim berusaha semampunya untuk memberikan hidayah kepada orang lain. Dia bisa melakukan dengan cara memberikan nasihat. Dia merasa senang jika saudaranya berada di atas kebenaran, dan merasa benci dan tidak suka jika saudaranya melakukan kesalahan. Seorang muslim, tidak boleh merasa senang dengan kesalahan yang dilakukan oleh saudaranya. Bahkan, seharusnya ia merasa senang tatkala saudaranya berada di atas petunjuk yang benar. Merasa senang jika saudaranya konsisten berada di atas Sunnah. Bahkan, hendaknya ia juga mendoakan kebaikan untuk saudaranya, baik di dalam shalatnya maupun pada kesempatan lainnya, mendoakan agar Allah selalu membimbingnya di atas kebenaran.

Demi Allah, seandainya kaum Muslimin menempuh cara ini, pastilah akan menghasilkan kebaikan yang sangat banyak. Yaitu, setiap muslim mendakwahi orang lain dengan hatinya sebelum dengan lisannya. Mencintai dengan sepenuh hatinya tatkala orang yang ia dakwahi mendapatkan petunjuk.

Allah Azza wa Jalla berfirman :

إِن يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا

…Jika kedua orang hakam (juru pendamai) itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu…. [an Nisaa`/4:35].

Jadi, orang yang benar-benar menginginkan perbaikan dan perdamaian, pasti Allah akan memberikan kemudahan kepadanya. Adapun jika kita berkumpul di berbagai majelis, namun hati kita dipenuhi (rasa benci) terhadap sesama, maka hal ini tidak baik dan tidak boleh! Sehingga, wajib bagi kita untuk membersihkan hati dari rasa benci, iri dan dengki. Menggantikannya dengan rasa saling mencintai antara sesama muslim, terlebih lagi saudara-saudara kita yang seaqidah dan semanhaj (Ahlus Sunnah wal Jama’ah).

Adapun ahlul bida’, yang telah memisahkan diri mereka dengan aqidah Ahlus Sunnah, mereka juga kita dakwahi (agar mendapatkan petunjuk yang benar). Namun, tentu saja dalam mu'amalah dengan mereka tidak sama dengan saudara-saudara kita yang seaqidah dan semanhaj. Jadi, kita tetap mendakwahi mereka dan bersabar dalam berdakwah, serta terus menjelaskan kepada mereka perkara yang benar, dengan berharap agar Allah memberikan petunjukNya kepada mereka.

Berbeda halnya dengan saudara-saudara kita (yang seaqidah dan semanhaj), mereka memiliki hak-hak agung yang harus kita hormati. Adapun ahlul bida’, maka kita tidak boleh mendukung dakwah dan menolong mereka di atas kebatilan.

Saudara-saudara kita yang seaqidah dan semanhaj, mereka adalah Ahlus Sunnah. Dan mereka, mungkin saja berbuat salah dalam permasalahan tertentu. Namun hal ini tidak menghalangi kita untuk mengarahkan orang-orang awam agar mengambil faidah dari mereka.

Namun, -sekali lagi- jika Anda khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, Anda khawatir jika agama orang-orang awam terancam bahaya dengan sebab dakwahnya kepada permasalahan yang ia keliru padanya, maka mungkin Anda berikan peringatan orang-orang awam dari kesalahannya ini. Karena jika tidak demikian, atau bahkan kita berkata : “Kami tidak memberikan rekomendasi dan tidak menganjurkan seorang pun untuk menghadiri majelis ilmu seseorang, kecuali terhadap orang yang kita ridhai saja, atau orang yang kami belum pernah mengetahui kesalahannya”, maka tidak ada seorang pun yang tersifati dengan sifat seperti ini. Bahkan tidak ada seorang ulama pun, tidak pula seorang pun dari penuntut ilmu yang benar-benar tidak pernah melakukan kesalahan.

Seorang ulama pun terkadang pernah salah dalam pendapatnya. Namun, kesalahannya berbeda dengan kesalahan orang lain. Kesalahan seorang ‘alim adalah disebabkan ijtihadnya. Sehingga hal ini tidak melarang orang lain untuk tetap mengambil ilmu darinya. Ia tetap didukung dakwahnya. Ia tetap berhak agar orang-orang awam diarahkan kepadanya untuk mengambil manfaat darinya.

Seandainya para penuntut ilmu menilai permasalahan ini dengan fiqh (dengan ilmu dan pemahaman yang benar), pastilah mereka akan menyadari bahwa, manhaj dakwah seperti ini mengandung kemaslahatan yang sangat besar. Karena, jika kalian (para da’i dan penuntut ilmu) berpecah-belah, kaum Muslimin pun akan berpecah-belah. Sehingga, perpecahan kalian merupakan perpecahan umat. Bukan hanya sekedar perpecahan sebagian kelompok orang.

Setiap da’i, di belakangnya terdapat penuntut ilmu dan para pengikutnya. Sehingga, perpecahan para da’i dan penuntut ilmu adalah perpecahan umat. Namun jika kalian bersatu dan berkumpul, umat pun akan bersatu dan berkumpul.

Para da’i dan penuntut ilmu hendaknya senantiasa hanya mengharapkan keridhaan dan pahala dari Allah dalam usahanya untuk memperbaiki keadaan saudara-saudara mereka, dan saling damai antara sesama mereka. Hal ini -demi Allah- termasuk perbuatan yang pahalanya sangat besar.

Memperbaiki dan mendamaikan keadaan antara dua orang awam dari kaum Muslimin sangatlah baik, seperti firman Allah:

...وَالصُّلْحُ خَيْرٌ...

…dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)…. [an Nisaa`/4:128].

Perdamaian sangat baik dilakukan untuk dua orang yang saling bermusuhan dari kalangan awam kaum Muslimin. Maka, terlebih lagi jika perdamaian tersebut terjadi di antara para penuntut ilmu, di antara saudara-saudara kita (yang seaqidah dan semanhaj). Hal ini juga menunjukkan jika seorang muslim, mendapatkan perselisihan yang terjadi antara dua orang dari saudara-saudaranya, hendaknya ia berusaha semampunya untuk mendamaikan keduanya. Hendaknya berusaha berbicara kepada masing-masing (mereka berdua) dengan pembicaraan, yang sekiranya bisa mendamaikannya. Bahkan, sampai-sampai berdusta pun dibolehkan demi mendamaikan dua pihak kaum Muslimin yang sedang bermusuhan.

Adapun, perbuatan yang dilakukan oleh sebagian orang, berupa mengobarkan api pada dada-dada para penuntut ilmu sehingga permusuhan dan kebencian antar sesama mereka semakin besar, seperti perkataan berikut: “Saya mendengar si Fulan membicarakan dirimu demikian dan demikian,” maka hal ini -na’udzu billah- adalah namimah (mengadu domba) yang sangat merusak hati.

Orang yang senantiasa menginginkan perdamaian, ia akan menukilkan perkataan-perkataan yang baik saja. Walaupun ia pernah mendengar perkataan “si Fulan membicarakan dirimu demikian dan demikian”, ia tidak akan menukilkan perkataan ini. Karena ia tahu, hal ini sama sekali tidak ada kemaslahatan padanya. Ia pun hanya menukilkan perkataan-perkataan yang sekiranya membuat hati damai dan dapat meredakan permusuhan. Hal ini -demi Allah- salah satu sebab yang paling agung agar seseorang mendapatkan taufik Allah.

Orang yang melakukan kebaikan ini, ia akan diberi rizki oleh Allah berupa ilmu yang bermanfaat, dan Allah pun akan menjadikan dakwahnya sangat bermanfaat bagi kaum Muslimin. Ia pun masih mendapatkan kebaikan-kebaikan lainnya yang sangat banyak. Tentu, hal ini terjadi jika ia benar-benar jujur dan mengikhlaskan niatnya semata-mata hanya karena Allah dalam usahanya mempersatukan kalimat kaum Muslimin dan menasihati mereka. Terlebih lagi dalam usahanya mempersatukan kalimat Ahlus Sunnah, juga kecintaannya untuk menyebarnya seluruh kebaikan di antara kaum Muslimin. Bahkan ahlul bida’, kita pun harus senang jika mereka mendapatkan petunjuk. Dan inilah makna al mahabbatu fillah (mencintai karena Allah).

Orang yang mecintai Allah, ia akan senang jika Allah k ditaati dan tidak dimaksiati. Ia senang jika tidak ada seorang kafir pun di muka bumi ini. Ia senantiasa berusaha semampunya untuk memberikan petunjuk yang lurus dan benar kepada orang lain, sampai-sampai kepada orang kafir sekalipun. Ia tahu jika kelemah-lembutan membuat orang yang ia dakwahi semakin mendekatkan kepada kebenaran. Ia pun akan berlaku lemah-lembut kepada siapapun yang ia dakwahi.

Alangkah indahnya, jika para da’i dan penuntut ilmu berada di atas pemahaman dan tujuan yang lurus dan agung seperti ini dalam dakwah mereka, dan dalam usaha mereka untuk mendamaikan dan mempersatukan kaum Muslimin. Semuanya ini, sama sekali bukan berarti seorang muslim mesti bertanazul (mengalah dan menyerah) dalam mempertahankan agamanya. Karena, permasalahan sebagian orang sekarang, adalah prasangka yang salah dalam memahami makna al ijtima’. Ia menyangka, makna al ijtima’ adalah seorang muslim selalu turun, merendah dan mengalah dalam mempertahankan syariat agamanya. Tidak! Bukan seperti ini!

Betapapun dekatnya hubungan kekerabatan seseorang dengan orang yang ia dakwahi, dan betapapun tingginya ilmu seseorang, jika ia melakukan kesalahan, maka seorang muslim tidak boleh bermudahanah (mencari muka dengan mengorbankan agama demi kepentingan dunia) seraya berkata: “Kita adalah bersaudara, tidak baik bagi kita untuk membicarakan masalah ini…”. Tidak! Ini tidak boleh dilakukan! Persaudaraan, sama sekali tidak menghalangi kita untuk saling menasihati dan saling menegur jika terdapat kesalahan (di antara kita). Namun, dengan cara yang baik dan lemah-lembut.

Maka, kita harus memahami batasan-batasan permasalahan berkaitan dengan lafazh-lafazh syar’i ini. Kita harus mengetahui makna al i’tisham bi kitabillah. Kita juga harus mengetahui makna al ijtima’.

Al ijtima’, apa makna al ijtima’?
Bukan makna al ijtima’ seperti yang dikira oleh ahlul bida’, yaitu bersatu dan berkumpul walaupun di atas kebatilan, dan tidak boleh saling mengingkari sebagian kepada sebagian yang lain.

Bukan pula makna al i’tisham, (jika) setiap orang berpegang teguh dan bersikeras dengan sesuatu yang ada di dalam kepalanya, lalu ia berkata: “Aku berpegang teguh dengan agama Allah, aku tidak peduli dengan siapapun yang menyelisihi aku…”. Bukan! Bukan demikian!

Bahkan dirimu memiliki saudara-saudara, yang menyertaimu dan bersama-sama denganmu dalam permasalahan, yang dirimu juga sama dengan mereka dalam hal kebaikan, ilmu dan keutamaan lainnya. Oleh kerena itu, introspeksi dirimu, dan hargailah mereka! Kemungkinan Anda yang salah. Dan ada kemungkinan juga orang lain yang salah. Tetapi, Anda harus tetap sabar dan bertahan (dalam berdakwah dan bermu'amalah).

Kita memohon kepada Allah taufikNya untuk kita semua. Demikianlah, wallahu a’lam…
Wa shallallahu wa sallama wa baaraka ‘ala Nabiyyina Muhammad.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 7-8/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Sebagaimana Allah berfirman:
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِّن قَبْلِكَ فَصَبَرُواْ عَلَى مَا كُذِّبُواْ وَأُوذُواْ حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا...
Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap mereka …. [al An’am/6:34].
[2]. Sebagaimana hadits yang cukup panjang dari Ibnu Abbas c , beliau berkata:
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((عُرِضَتْ عَلَيَّ الأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرُّهَيْطُ، وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ، وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ...))
Dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda,”Telah diperlihatkan kepadaku umat-umat, maka aku melihat seorang nabi bersamanya sekelompok orang, aku pun melihat seorang nabi bersamanya hanya seorang atau dua orang saja, dan aku pun melihat seorang nabi yang tidak ada pengikutnya sama sekali …" [HR al Bukhari, 5/2157 dan 2170; Muslim, 1/199 no. 220; dan lain-lain. Dan ini lafazh dalam Shahih Muslim].
[3]. Hidayah (petunjuk) ada dua macam, hidayatut taufiq dan hidayatul irsyad. Hidayah yang pertama inilah yang dinafikan (ditiadakan) oleh Allah dari RasulNya, sebagaimana ayat di atas. Karena hidayah ini datangnya semata-mata dari Allah. Adapun jenis hidayah yang ke dua, maka hidayah ini dimiliki oleh Rasulullah n dan setiap orang yang berdakwah ilallah, mengajak orang lain menuju kebaikan. Sebagaimana firman Allah:
...وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
…Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS asy Syura/42:52).
Jenis hidayah yang ke dua ini (hidayatul irsyad), dimiliki oleh setiap orang yang berdakwah ilallah, karena orang yang berdakwah ilallah hanya memberikan sebuah kunci menuju jalan yang benar dan lurus kepada orang lain. Adapun akhir perkaranya, semua kembali kepada Allah. Sehingga, pada akhirnya hanya Allah saja yang menentukan seseorang mendapatkan hidayah dariNya (hidayatut taufiq), ataukah tidak. Lihat pembahasan ini dalam kitab al Qaulul Mufid ‘ala Kitabut Tauhid, 1/348-349.
[4]. Lihat terjemah taujih-1 (untaian nasehat lainnya yang juga beliau sampaikan pada kesempatan lain dalam acara daurah yang sama).
[5]. HR at Tirmidzi, 5/41 no. 2670, dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu . Dan yang semakna dengannya diriwayatkan oleh Abu Dawud, 4/333 no. 5129, dari hadits Abu Mas’ud al Anshari al Badri Radhiyallahu 'anhu.
Hadits ini secara keseluruhan dishahihkan oleh Syaikh al Albani di dalam Shahihut Tirmidzi, Shahih Abi Dawud, Shahihul Jami’ (1605 dan 3399), Shahih at Targhib wat Tarhib (1/157-158 no. 115,116, dan 117), as Silsilah ash Shahihah (4/216), dan kitab-kitab beliau lainnya.
[6]. Seperti yang diterangkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari (1/418 no. 1183), Muslim (4/1704-1705 no. 2162), dan lain-lain, dari Abu Hurairah z , beliau mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
((حَقُّ المُسْلِمِ عَلَى المُسْلِمِ خَمْسٌ: رَدُّ السَّلاَمِ، وَعِيَادَةُ المَرِيْضِ، وَاتِّباَعُ الجَنَائِزِ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ، وَتَشْمِيْتُ العَاطِسِ))
Hak muslim atas muslim (lainnya) ada lima : menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, memenuhi undangan, dan mengucapkan tasymit kepada orang yang bersin.
(تَشْمِيْتُ العَاطِسِ) artinya, mendoakan kebaikan dan barakah dengan mengucapkan yarhamukallah (semoga Allah merahmatimu) kepada seorang muslim yang bersin yang mengucapkan alhamdulillah (segala puji hanya milik Allah).
Lihat an Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, 1/889.
sumber : www.almanhaj.or.id

Perintah Untuk Mengikuti Sunnah Rasulullah Dan Larangan Dari Fanatisme Dan Taqlid

PERINTAH UNTUK MENGIKUTI SUNNAH RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DAN LARANGAN DARI FANATISME DAN TAQLID

Oleh
Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman



Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarganya dan semua sahabatnya.

Saudara-saudara yang saya cintai karena Allah. Saya bersaksi di hadapan Allah, bahwa saya mencintai antum semua dan orang-orang shalih di negeri ini semata karena Allah. Saya datang ke Indonesia untuk yang ketiga kalinya. Dan saya –alhamdulillah- mendapatkan kebaikan yang sangat banyak di negeri ini. Saya berdoa semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits qudsi :

وَجَبَتْ مَحَبَّتِي فِي الْمُتَجَالِسِينَ فِيَّ وَ وَجَبَتْ مَحَبَّتِي فِي الْمُتَزَاوِرِينَ فِيَّ

Orang-orang yang duduk di satu majelis karena Aku, maka mereka pasti mendapatkan kecintaan dariKu. Orang-orang yang berkumpul karena Aku, maka telah mendapatkan kecintaan dariKu.

Sudah kita ketahui bersama, orang yang masuk ke dalam agama Islam harus mengatakan :

أَشْهَدُ أَنْ لا إلَهَ إلا الله, وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ

Dua kalimat tersebut merupakan kalimat yang sangat agung. Seseorang tidak bisa dikatakan muslim, kecuali jika dia telah mengucapkan dua kalimat tersebut, memahami dan melakukan konsekuensi dari kedua kalimat itu.

Dan makna perkataan أَشْهَدُ أَنْ لا إلَهَ إلا اللهadalah tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali Allah. Maka wajib bagi seorang muslim untuk merealisasikan ubudiyahnya kepada Allah. Ubudiyah kepada Allah adalah kecintaan yang sempurna, taat dan tunduk terhadap perintahNya. Oleh sebab itulah, semua para nabi datang membawa panji Islam.

Allah berfirman.

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

Sesungguhnya agama yang Allah diridhai di sisiNya adalah Islam. [Ali Imran : 19].

Allah berfirman.

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ

Dan barangsiapa yang menginginkan agama selain Islam, maka tidak akan pernah diterima (agama itu) darinya. [Ali Imran : 85].

Semua agama di atas bumi adalah agama yang batil, kecuali Islam. Allah tidak akan menerima dan rela untuk hambaNya, kecuali agama Islam ini. Agama ini wajib dijalankan dan diamalkan oleh kaum muslimin. Allah berfirman.

شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ

Allah telah mensyariatkan bagi kalian agama seperti yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: “Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya. Amat berat bagi kaum musyrikin agama yang kamu serukan mereka kepadanya. Allah memilih orang-orang yang dikehendakiNya kepada agamaNya dan memberikan petunjuk kepada (agama)Nya orang-orang yang kembali (kepadaNya). [Asy Syura : 13].

Dalam ayat lain, Allah berfirman.

Allah menentukan untuk (diberi) rahmatNya orang-orang yang Dia kehendaki. [Al Baqarah : 10]

Allah memilih orang-orang tertentu dari kalangan ahli tauhid dan ahli din.
Namun syi’ar (slogan) seorang muslim adalah tauhid dan Sunnah. Karena itu, keimanan seorang muslim tidak akan sempurna kecuali jika dia telah mengatakan :

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّّ اللهُ

Dengan itulah, tauhid akan terwujud, dan juga dengan kalimat :

أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

Makna kalimat ini, ialah tidak ada orang yang berhak diikuti, kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Maka, seorang muslim tidak boleh menjadikan seorang syaikh, madzhab, kelompok, jama’ah, nalar, pendapat, (aturan) politik, adat, taqlid, budaya, warisan nenek moyang, sebagai panutan dan diterima begitu saja tanpa melihat dalil. Seorang muslim tidak bisa dikatakan muslim yang sempurna, sampai ia melaksanakan ubudiyah (penghambaan diri) hanya untuk Allah saja dan menjadikan Rasulullah n sebagai orang yang dia ikuti. Barangsiapa yang menisbatkan diri kepada salah satu madzhab, kelompok atau jama’ah atau akal, maka ucapannya “Asyhadu anna Muhammad Rasulullah” masih dianggap kurang dan tidak sempurna.

Pernyataan yang telah kami sebutkan itu merupakan ketetapan semua ulama Islam, terutama para imam yang empat, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad, semoga Allah memberikan rahmat kepada mereka semua.

Imam Abu Hanifah berkata: ”Haram bagi seseorang mengemukakan pendapat kami, sampai dia mengetahui dari mana kami mengambilnya”.

Dan Imam Malik, sambil memberikan isyarat ke arah makam Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sambil berkata : ”Semua orang, perkataannya bisa diambil dan bisa ditolak, kecuali perkataan orang yang ada di dalam kuburan ini,” yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Imam Syafi’i berkata : ”Jika ada hadits shahih, maka itulah madzhabku”.

Pada suatu hari, datang kepadanya seseorang dan berkata: “Wahai, Imam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda begini dan begini (sambil menyebutkan hadits) dalam masalah ini. Lalu, apa pendapatmu, wahai Imam?” Maka Imam Syafi’i marah besar dan berkata : ”Apakah engkau melihat saya keluar dari gereja? Apakah engkau melihatku keluar dari tempat peribadatan orang Yahudi? Engkau menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka aku tidak berkata apa pun, kecuali seperti apa yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam“.

Karena itulah, salah satu muridnya yang bernama Yunus bin Abil A’la Ash Shadafi dalam satu majelis pernah ditanya tentang satu masalah. Maka dia menjawabnya dengan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu ada yang bertanya : ”Apa pendapat Imam Syafi’i dalam masalah tersebut?” Beliau menjawab: ”Madzhab Imam Syafi’i ialah hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena saya pernah mendengar beliau berkata : ”Jika ada hadits shahih, maka itulah madzhabku”.

Begitu pula Imam Ahmad, beliau adalah orang yang selalu mengikuti atsar dan dalil. Beliau tidak pernah berhujjah, kecuali dengan dalil dari firman Allah atau sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian ini merupakan kewajiban bagi seorang alim, mufti dan orang yang meminta fatwa. Karena Allah memerintahkan orang-orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya.

فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan jika kalian tidak mengetahui. [An Nahl : 43].

Akan tetapi, (sebagian) kaum muslimin berhenti sampai ayat ini saja. Mereka lupa dan tidak melanjutkan ayat tersebut. Padahal kelanjutan dari ayat tersebut adalah :

بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ

Dengan keterangan-keterangan dan kitab-kitab. [An Nahl : 44].

Maksudnya, jika Anda tidak mengetahui, maka bertanyalah kepada orang yang mengetahui dengan disertai dalil, hujjah dan bukti-bukti. Itulah makna firman Allah :

بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ

Agama dan hukum Allah tidak diambil kecuali berdasarkan keputusan (ijma’), penjelasan dan kaidah-kaidah para ulama yang dilandasi dengan dalil-dalil syar’i. Dari situ, tumbuhlah persatuan. Persatuan yang wajib digalang oleh kaum muslimin harus bertumpu pada tauhid dan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Persatuan secara fisik yang kita serukan harus didahului oleh persatuan atau kesamaan pemahaman. Pemahaman kita harus dilandasi dengan tauhid dan ittiba’ hanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan inilah makna dari firman Allah.

أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ

Tegakkanlah agama dan jangan kalian berpecah belah tentangnya. [Asy Syura : 13].

Allah melarang kita berpecah-belah, dan jangan sampai ada sesuatu yang memecah-belah kita. Allah juga melarang kita meninggalkan Al Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitahukan kepada kita, bahwa pada akhir jaman nanti akan ada beberapa kaum yang mengingkari Sunnah. “Aku akan mendapati salah satu dari kalian bersandar di atas kursinya sambil berkata “Dihadapan kita ada Kitab Allah. Jika kita mendapatkan sesuatu yang halal di dalamnya, maka kita akan halalkan. Dan jika kami menemukan sesuatu yang haram, maka kami haramkan”. Ketauhilah, bahwa aku telah diberi sesuatu yang sama dengan Al Qur’an”. [HR Abu Daud dan Tirmidzi].

Kedudukan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sama dengan Al Qur’an. Di dalamnya disebutkan hal-hal yang halal dan haram. Orang yang mengingkari Sunnah, hukumnya kafir, keluar dari agama. Orang yang mengingkari Sunnah, berarti mengingkari Al Qur’an.

Kita lihat, bagaimana Al Qur’an bisa sampai kepada kita? Al Qur’an sampai kepada kita dari generasi ke generasi. Para tabi’in mengambilnya dari para sahabat, dan para pengikut tabi’in mengambilnya dari para tabi’in. Begitu seterusnya, sehingga Al Qur’an bisa sampai kepada kita.

Pada masa-masa terakhir ini, telah terjadi perbedaan. Kami menemukan beberapa kaum di antara mereka ada yang mengingkari Sunnah. Di antara mereka ada yang membacanya dengan niat mencari barakah dan tidak beramal dengan sunnah. Ada sebagian orang, yang sama sekali tidak perduli sama sekali dengan Sunnah, dan dia beranggapan bahwa yang dimaksud dengan Sunnah adalah satu hukum yang tidak ada sangsinya. Demikian ini merupakan dugaan yang salah.

Sebab, para ulama, jika mengatakan “Sunnah” secara mutlak, maka maknanya tidak lepas dari dua hal.

Pertama : Sunnah, sebagai sumber syari’at (hukum). Dalam hal ini, kedudukan Sunnah sama dengan Al Qur’an, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

أَلاَ إِنِّي أُوْتِيْتُ الكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ

Kedua : Sunnah yang berarti sebagai salah satu hukum syar’i yang lima, yang berada di bawah wajib dan di atas mubah. Berdasarkan (makna) yang kedua ini, pelakunya akan diberi pahala, dan yang meninggalkannya tidak mendapat sangsi.

Jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk mengambil dalil yang benar, maka lebih baik dia mengikuti jalan para sahabat, karena kebaikan hanya dari jalan mereka. Kemudian kebaikan ini diriwayatkan dan diambil oleh para tabi’in. Akan tetapi, pada jaman tabi’in, kebaikan tersebut tercampuri dengan noda dan bid’ah yang mulai muncul. Sehingga, muncullah kelompok-kelompok seperti Rafidhah, Qadariyah dan kelompok-kelompok sesat lainnya. Padahal, kebanyakan orang umumnya masih berada di atas kebaikan tersebut. Seiring dengan perjalanan waktu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan tentang keterasingan agama ini. beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

Sesungguhnya agama (Islam) muncul dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing. Maka keberuntungan bagi orang-orang yang asing. Ditanyakan kepada nabi n : “Siapa mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab : “Sekelompok orang yang sedikit, yang berada di kalangan orang yang banyak. Mereka memperbaiki Sunnah-ku yang telah dirusak oleh orang.” [HR Tirmidzi]

Oleh karenanya, ketika Imam Ahmad mendengar seseorang berkata – saat fitnah banyak bermunculan, di antaranya bid’ah yang menyatakan Al Qur’an adalah makhluk dan fitnah lainnya, : “Ya, Allah. Matikanlah aku di atas Islam.” Maka Imam Ahmad berkata kepadanya : ”Katakanlah, ‘Ya, Allah. Matikanlah aku di atas Islam dan Sunnah’.”

Kita memohon dan berdo’a kepada Allah, semoga kita dimatikan di atas Islam dan Sunnah, dan semoga kata-kata terakhir dalam hidup kita ialah laa ilaaha illallah

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga memberitahukan kepada kita, bahwa setiap satu jaman berlalu dan datang jaman lain, maka semakin berat fitnah yang melanda umat ini dan perpecahan akan semakin nampak. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm berkata kepada sahabatnya :

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي – أي من يطول به العمر- فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا

Sesungguhnya, barangsiapa yang hidup di antara kalian (panjang umurnya), maka dia akan mendapatkan perbedaan yang sangat banyak. [HR Abu Daud].

Perpecahan tersebut telah terjadi, dan ini adalah penyakit. Dan tidak ada satu penyakit, (kecuali) pasti ada obatnya. Obat dari penyakit ini, ialah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam lanjutan hadits itu sendiri.

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnah-ku, dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah (peganglah) sunnah tersebut dengan gerahammu.

Jadi, Sunnah para khulafa’ dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah satu. Karena itulah Rasulullah n bersabda : فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي , lalu setelah itu Beliau berkata “عَضُّوْا عليها” dengan lafazh satu (tersirat dalam sabda beliau ini bahwa sunnah Rasulullah dan sunnah khulafa’ Ar Rasyidin adalah satu –red) dan tidak berkata “عَضُّوْا عَلَيْهِمَا” (gigitlah keduanya, maksudnya peganglah ia dengan sekuat-kuatnya).

Pada hakikatnya, semua ini merupakan agama Allah. Karena, sebagaimana Allah memilih Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai utusanNya dari kalangan manusia, maka Allah juga memilih untuk nabiNya sahabat-sahabat yang pilihan. Allah mengutus Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada mereka untuk mengajar dan membersihkan mereka, sebagaimana yang telah Allah firmankan :

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

Dia-lah yang mengutus kepada umat yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membaca ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya berada dalam kesesatan yang nyata. [Al Jumu’ah : 2].

Orang yang mencela Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, berarti dia telah mencela Allah. Orang yang mencela sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sungguh dia telah mencela Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Agama ini adalah dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pemahaman para salaful umah, dari para sahabat dan tabi’in, seperti difirmankan Allah.

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mukminin, Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. [An Nisaa’: 115].

Yang dimaksud jalan orang-orang mukminin, ialah para sahabat dan orang-orang yang berjalan di atas jalan mereka dari kalangan para tabi’in dan pengikut tabi’in sampai hari kiamat tiba. Keberadaan mereka, akan terus ada sampai hari kiamat datang, seperti yang akan kita jelaskan, insya Allah.

Agama ini adalah agama yang nilai-nilainya dipraktekkan, bukan agama filsafat atau teori semata. Agama ini telah tegak pada masa-masa yang lalu, sejak zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, era sahabat dan para tabi’in. Apa yang menjadi agama pada masa itu, maka pada sekarang ini, hal tersebut juga merupakan bagian dari agama. Dan jika pada zaman mereka ada satu hal yang bukan dari agama, maka sekarang ini, hal tersebut juga bukan termasuk dari agama yang dicintai dan diridhai Allah.

Agama ini adalah Kitab Allah, dan Kitab Allah memerintahkan agar kita mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan Rasulullah, memerintahkan kita untuk mengikuti sahabat Rasulullah. Ini semua dicintai dan diridhai Allah. Begitulah yang difahami Imam Syafi’i dan ulama lainnya.

(Suatu waktu), Imam Syafi’i datang ke Masjidil Haram di Mekkah untuk menunaikkan ibadah haji. Beliau duduk dan berkata kepada orang-orang yang ada : “Tanyalah kepadaku. Tidak ada orang yang bertanya tentang sesuatu kepadaku, kecuali aku akan menjawabnya dengan Kitabullah”.

Maka ada orang awam berdiri dan bertanya : “Wahai, imam. Ketika aku masuk Masjidil Haram, aku menginjak dan membunuh satu serangga. Padahal orang yang dalam keadaan ihram tidak boleh membunuh sesuatu. Akan tetapi, aku telah membunuh seekor serangga. Apa jawabannya dari Kitabullah ?”.

Setelah memuji Allah dan shalawat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Imam Syafi’i berkata : Allah berfirman :


Apa-apa yang telah diperintahkan Rasul, maka haruslah kalian mengambilnya. [Al Hasyr:8].

Sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata :

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي

Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnah-ku dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. [HR Abu Daud]

Dan di antara Khulafaur Rasyidin adalah Umar bin Khaththab. Kemudian beliau membawakan sebuah riwayat bahwa ada seseorang bertanya kepada Umar bin Khaththab tentang seseorang yang membunuh seekor serangga dalam keadaan ihram. Maka Umar menjawab, ”Tidak ada denda (sangsi) apa pun atas kamu”. Maka Imam Syafi’i berkata : “Jawabanku dari Kitabullah, wahai orang yang berbuat (seperti) itu, sesungguhnya engkau tidak mendapat sangsi apapun. Itulah jawaban dari kitab Allah.”

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menceritakan kepada kita, bahwa akan terjadi perpecahan pada umat ini. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga menjelaskan, Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, Nashara akan terbagi menjadi 72 golongan. Dan kaum muslimin, akan terpecah menjadi 73 kelompok. Rasulullah kemudian berkata, semua kelompok itu –semuanya- akan masuk ke dalam neraka, kecuali satu kelompok saja. Ditanyakan kepadanya: “Siapa mereka, wahai Rasulullah?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Yaitu orang-orang yang berada di atas jalanku dan jalan para sahabatku pada hari ini.”

Perpercahan itu juga telah dijelaskan oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Para sahabat benar-benar menekuni agama ini dengan amalan nyata. Karena sesuatu yang bersifat teori, akal dan pemahaman bisa berbeda-beda. Namun, jika berbentuk praktek dan amalan, maka itu merupakan hal yang terbaik dalam menafsirkan firman Allah dan ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . Perbedaan seperti ini sudah ada ketika muncul para imam dan Daulah Islam. Para fuqaha (ahli fiqih) jatuh ke dalam perbedaan tersebut. Namun perbedaan yang terjadi pada di kalangan mereka memiliki ketentuan-ketentuan dan kaidah-kaidah yang sesuai dengan syar’i, sehingga tidak ada saling mencela dan perpecahan.

Para fuqaha, terutama para imam yang empat, mereka saling mencintai. Kita juga harus mencintai mereka, berlepas diri dari orang-orang yang mencela mereka. Namun kita juga yakin, di antara mereka, tidak ada satu pun yang ma’shum. Semoga Allah memberikan rahmatNya kepada mereka.

Akan tetapi, setelah itu, pada masa akhir-akhir ini muncul fanatisme dan taqlid buta kepada imam-imam tersebut. Sehingga ada sebagian orang yang bermadzhab Syafi’i berkata, bahwa orang yang bermadzhab Syafi’i tidak boleh menikah dengan wanita yang bermadzhab Hanafi. Dan orang yang bermadzhab Hanafi tidak boleh menikah dengan wanita yang bermadzhab Syafi’i. Sehingga terjadilah fanatisme yang tercela dan taqlid buta yang tidak dicintai dan diridhai Allah.

Umat ini terpecah dengan perpecahan yang sangat dahsyat. Setiap golongan umat ini tidak beribadah kepada Allah, kecuali dengan madzhab satu imam. Kemudian pemahaman agama hanya diambil dari catatan-catatan dan buku-buku ulama terdahulu tanpa kembali kepada dalil-dalil yang syar’i. Sehingga semakin menambah perbedaan dan perpecahan umat ini, karena persatuan tidak akan mungkin terwujud kecuali jika dilandasi dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seiring dengan bergulirnya waktu, maka perbedaan yang ada semakin keras dan dahsyat.

Ketika kekuatan dan kekuasaan Islam hilang, muncul sekelompok orang yang ingin memperbaiki keadaan dan mendirikan agama ini. Masing-masing kelompok menempuh metode tersendiri, sehingga terjadi perpecahan dan perbedaan yang tajam di antara mereka. Padahal ahlul haq (orang-orang yang berada di atas kebenaran) masih ada. Dan sebelumnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menceritakan tentang orang-orang tersebut dalam haditsnya :

لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ

Masih akan terus ada satu kelompok pada umatku, mereka akan tetap berada di atas kebenaran sampai hari kiamat datang. [HR Bukhari dan Muslim].

Pada asalnya, kaum muslimin harus menjadi umat yang bersatu di atas tauhid dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seperti yang telah kami jelaskan. Dan juga, satu sama lain harus saling mencintai karena agama Allah. Ketika terjadi perselisihan antara seorang Muhajirin dan seorang Anshar, dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar orang Anshar berkata “Wahai orang-orang Anshar!” dan yang Muhajirin berkata “Wahai orang-orang Muhajirin!”

Sebutan Muhajirin dan Anshar adalah dua nama yang syar’i dan dicintai Allah. Allah telah menyebutkan dalam KitabNya, artinya : Dan orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan, maka Allah telah ridha kepada mereka dan mereka juga telah ridha kepada Allah. [At Taubah : 100]

Namun ketika terjadi perbedaan antara keduanya dan masing-masing memanggil kelompoknya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada mereka : “Apakah kalian melakukan adat jahiliyah, padahal aku berada di tengah-tengah kalian?”

Sabda Beliau “kalian telah melakukan adat jahiliyah” ini ditujukan kepada orang yang mengatakan “Wahai orang-orang Anshar” dan yang berkata ”Wahai orang-orang Muhajirin”.

Jadi, seharusnya umat ini bersatu dan menjadikan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah n sebagai penentu hukum di antara mereka. Keduanya adalah agama yang diamalkan oleh para sahabat. Mengamalkan agama dengan pemahaman dan amalan para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Orang-orang yang mengikuti para sahabat akan terus ada, seperti disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ

Masih akan terus ada satu kelompok pada umatku, mereka akan tetap berada di atas kebenaran sampai hari kiamat datang.

Hadits ini harus kita cermati. Dengan memahaminya, maka orang akan merasa tenang, tidak goncang dan bingung. Hadits ini penting.

Berikut penjelasannya:
Pertama : Disebutkan di dalamnya “masih akan terus ada”, yang artinya “tidak akan terputus”. Maka siapa pun yang mengajak kepada kebenaran, lalu dakwahnya sampai kepada seorang tertentu, dan sebelumnya tidak ada kelompok atau jama’ah kecuali setelah orang tersebut muncul, maka dia tidak termasuk di dalam hadits ini. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : ”Masih akan terus ada pada umatku”. Dan ahlul haq tidak pernah mengajak, kecuali kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pemahaman para salafush shalih. Kelompok yang disebutkan Rasulullah n ini akan terus ada dan memiliki sanad (jalur periwayatan) yang sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kedua, sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam “akan tetap eksis atau menang”. Ini tidak berarti mereka haruslah golongan yang kuat atau menang dengan kekuatan materi. Akan tetapi, mereka tetap menang dengan hujjah, dalil, keterangan, penjelasan dan kaidah-kaidah para ulama. Mereka tetap teguh di atas kebenaran. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan tentang keadaan mereka dalam sabdanya :

لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ

Tidak mempengaruhi mereka orang-orang yang tidak memperdulikan mereka.

Dan dalam riwayat Musnad Imam Ahmad:

إِلاَّ لَعْوَاءُ تُصِيْبُهُمْ

(Kecuali jika musibah yang menimpa mereka).

Maka kelompok manapun, di negeri manapun, dan kapanpun mereka berada sementara musuh-musuh mereka berhasil mengecilkan nyali dan menekan mentalnya, maka mereka ini bukan yang termasuk dalam hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata “tidak mempengaruhi mereka orang-orang yang mencela dan mengganggu mereka”.

Kelompok yang disebutkan ini adalah yang berada di atas agama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Kelompok tersebut akan menjadi kelompok yang mendapat pertolongan dan akan menggenggam masa depan yang bagus. Allah telah menceritakan dalam KitabNya, dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Sunnah-nya yang shahih, bahwa masa depan akan menjadi milik agama ini. Dan agama ini akan menang dan merambah seluruh wilayah. Barangsiapa yang menduga bahwa Allah tidak akan menolongnya (Muhammad) di dunia dan akhirat, maka hendaknya dia merentangkan tali ke langit, kemudian hendaklah ia melaluinya, kemudian hendaklah dia pikirkan apakah tipu dayanya itu dapat melenyapkan apa yang menyakitkan hatinya. [Al Hajj : 15].

Makna ayat ini (ialah): Wahai, seluruh manusia. Barangsiapa yang menduga Allah tidak akan menolong Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan agamanya, maka lebih baik dia menggantung dirinya dengan tali di atap rumahnya, lalu membunuh dirinya. Karena Allah benar-benar menolong Nabi dan agamaNya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm pernah ditanya : “Kota manakah yang lebih dulu dibebaskan, Qostantiniyah (Konstantinopel yaitu di Turki) atau Roma (ibukota Italia)?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : “Qostantiniyah) dahulu, kemudian Roma.”

Dan (Qostantiniyah) telah dibebaskan semenjak tahun 1543M, dibebaskan lebih dari 800 tahun setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan kabar tersebut dalam haditsnya. Dan kita sedang menunggu penaklukkan kota Roma, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tsauban :

سَتَكُوْنُ فِيْكُمْ النُّبُوَّةُ مَاشَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ تَنْقَضِي, ثُمَّ تَكُوْنُ فِيْكُمْ خِلاَفَةٌ رَاشِدَةٌ مَاشَاءَ اللهُ لَهَا أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ تَنْقَضِي, ثُمَّ يَكُوْنُ فِيْكُمْ مُلْكٌ مِيْرَاثِي مَاشَاءَ اللهُ لَهُ أَنْ يَكُوْنَ ثُمَّ يَنْقَضِي, ثُمَّ يَكُوْنُ لَكُمْ مُلْكٌ عَضُوْدِي –ملك جبري –مَاشَاءَ اللهُ لَهُ أَنْ يَكُوْنَ ثُمَّ يَنْقَضِي , ثُمَّ تَكُوْنُ فِيْكُمْ خِلاَفَةٌ عَلَى نَـهْجِ النُّبُوَّةِ

Akan datang pada kalian masa kenabian sesuai dengan kehendak Allah, setelah itu habis masanya. Lalu akan datang zaman Khilafah Rasyidah sesuai dengan kehendak Allah, lalu setelah itu habis masanya. Lalu datang masa kerajaan yang turun menurun sesuai dengan kehendak Allah, lalu setelah itu habis masanya. Lalu datang masa kerajaan dengan cara paksaan (peperangan) dengan kehendak Allah berdiri, lalu setelah itu habis masanya. Kemudian datang masa Khilafah yang berada di atas jalan kenabian.

Di samping Allah mempersiapkan segala sesuatunya untuk pendirian khilafah yang berada di atas jalan kenabian tersebut, Allah juga mempersiapkan sebab-sebabnya. Di antara sebabnya, adalah Allah memberikan kemudahan kepada para ulama untuk menjelaskan hadits-hadits shahih dan jalan para salafush shalih dari umat ini.

Para imam-imam (ulama) tersebut yang diawali oleh Bukhari, lalu Muslim, Nasaa-i, Abu Dawud dan Ibnu Majah. Mereka semua bukanlah dari golongan bangsa Arab. Bukhari dari negeri Bukhara, Muslim dari Naisabur, Nasaa-i dari Nasaa’, Abu Dawud dari Sijistan, Ibnu Majah dari Qozwin. Mereka semua adalah orang ajam (bukan Arab). Mereka adalah para ulama hadits, muncul setelah masa para imam empat, (yaitu): Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad. Pada zaman para fuqaha, Sunnah belum dibukukan dalam satu buku, namun setelah zaman mereka.

Kemudian Allah menurunkan keutamaanNya untuk kita di negeri Syam dengan munculnya Syaikh Imam dalam ilmu hadits (yaitu) Abu Abdir Rahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh Najati Al Albani. Beliau datang dari negeri Albania, dibawa hijrah oleh ayahnya ke Damaskus guna menjaga agamanya. Kemudian diusir dari Damasqus, lalu menuju ke Yordania. Beliau tinggal (disana) lebih dari 50 tahun. Setiap hari selama lebih dari 18 jam, beliau melakukan penelitian terhadap hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , baik dari buku-buku cetakan atau dari manuskrip-manuskrip kuno. Selama itu, beliau mengarang dan menjelaskan hadits-hadits Nabi .

Setelah itu, dengan keutamaan Allah, muncul ulama-ulama sunnah di negeri-negeri kaum muslimin. Mereka mengajak untuk kembali kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah para sahabatnya. Inilah tanda-tanda khilafah yang telah diceritakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang akan kembali kepada umat ini, Insya Allah. Khilafah tersebut berada di atas jalan kenabian, jalan para sahabat dan tabi’in yang datang setelah Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Oleh sebab itu, wahai saudara-saudaraku! Jika ingin menolong dan menyebarkan agama kita, maka kita harus mempelajari Al Qur’an. Karena dengan menghafal dan menjaganya, hati akan menjadi mulia. Dengan memahami dan mentadabburinya (menghayatinya), akal pikiran menjadi mulia. Kita juga harus menghafal dan menjaga hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , atsar para sahabat dan tabi’in. Mengetahui perkataan-perkataan mereka dalam menghukumi masalah-masalah. Kita juga harus selalu mempelajari agama Allah dengan dalil-dalilnya yang syar’i dan shahih. Kita jangan bersikap fanatik kepada seseorang, madzhab, kelompok dan jama’ah. Kita harus bersikap lembut, memberi nasihat, menunjukkan rasa cinta kepada saudara-saudara kita yang terjerumus ke dalam jurang fanatisme terhadap satu kelompok. Jika kamu menolak nasihat kami, maka jangan kamu berikan semua akalmu kepada yang engkau ikuti, teapi sisakan sedikit, agar kamu bisa bertadabbur dan berpikir. Jika kamu merasa berat untuk melihat kebenaran kecuali dari tempat yang sempit dan kamu merasa tertahan di tempat tersebut, maka hendaklah kamu menjaga kunci tempat tersebut di tanganmu atau di sakumu; jangan engkau buang jauh dan jangan berikan kepada orang lain. Karena, jika pada suatu saat kamu mengetahui mana yang benar, maka kamu bisa keluar dari tempat tersebut dalam keadaan tenang dan bebas. Dan kamu bisa melihat kebenaran dari tempat yang luas dengan dalilnya yang shahih dan syar’i. Akhirnya, engkau akan berjalan di atas jalan para ulama.

Dan ketahuilah dengan seyakin-yakinnya, wahai saudara-saudaraku! Sesungguhnya akhir umat ini tidak akan menjadi baik, kecuali jika mencontoh umat yang pertama. Tidak ada jalan untuk memperbaiki umat ini, kecuali dengan jalan para ulama, duduk di majlis para ulama, mempelajari agama dengan pemahaman mereka dan mengamalkannya, kemudian menyebarkannya. Maka dengan itu, kaum mukminin akan bergembira dengan pertolongan dari Allah. Saya mengharap kepada Allah, agar kita dijadikan dari salah satu sebab ditolongnya agama ini, dan sebab penyebarluasan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Semoga Allah memberikan manfaat kepada kita dan menjadikan kita berguna bagi orang lain, juga menjadikan apa yang telah kita katakan dan kita dengar ini menjadi hujjah (pembela) untuk kita, bukan penggugat diri kita. Semoga Allah menjadikan itu semua sebagai timbangan kebaikan kita, dan menjadikan timbangan kita berat karenanya, Insya Allah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun IX/1426H/2005M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Naskah ini diangkat dari ceramah Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman di Universitas Islam Negeri Malang, pada tanggal 7 Desmber 2004. Ditranskrip ulang dan diterjemahkan oleh al akh Nashiruddin.
www.almanhaj.or.id